REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa, Jurnalis Republika
Tepat pada hari ini, proklamator Republik Indonesia Mohammad Hatta meninggal dunia 41 tahun lalu. Pejuang yang akrab disapa Bung Hatta itu wafat dalam usia 77 tahun pada 14 Maret 1980. Tentu, jenazah wakil presiden pertama RI tersebut sangat layak dikebumikan di kompleks permakaman pahlawan nasional, semisal Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Utama Kalibata.
Namun, sekitar lima tahun sebelum berpulang ke rahmatullah, suami Rahmi Rachim itu berwasiat agar jasadnya kelak dimakamkan di tengah perkuburan rakyat biasa. “Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya,” tulis Bung Hatta dalam surat wasiat tertanggal 10 Februari 1975. Atas persetujuan keluarga, Tempat Permakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta, pun menjadi tempat peristirahatan yang terakhir bagi ayahanda Meutia Farida Hatta, Gemala Rabiah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta itu.
Di sepanjang hayatnya, lelaki yang lahir pada 12 Agustus 1902 itu berkomitmen nyata dalam membela rakyat kecil. Semangat perjuangannya tidak hanya didorong rasa cinta Tanah Air, melainkan juga ketaatan dalam menjalankan ajaran agamanya. Sebagai seorang Muslim, Bung Hatta dikenal saleh, baik secara personal maupun sosial.
Menurut kesaksian sekretaris pribadinya, I Wangsa Widjaja dalam Mengenang Bung Hatta, putra pasangan Haji Muhammad Djamil dan Siti Saleha itu tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu dan puasa walaupun sedang dalam perjalanan dinas. Tokoh berdarah Minangkabau itu juga sangat jujur. Saking jujurnya, Bung Hatta tidak mau menggunakan uang dan fasilitas negara untuk keperluan diri sendiri walaupun semua itu merupakan haknya sebagai seorang pejabat pemerintahan.
Baginya, haram untuk memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi, seperti mengumpulkan kekayaan atau memberikan keistimewaan kepada sanak famili dan kerabatnya. Pernah suatu ketika, sosok kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat, itu pergi ke Tanah Suci bersama dengan istri dan saudarinya.
Presiden Sukarno sudah menawarkan kepadanya untuk menumpangi pesawat terbang yang dibiayai negara. Namun, Bung Hatta menolaknya dengan alasan, ingin berangkat haji sebagai seorang rakyat biasa, bukan wakil presiden RI. Untuk membiayai perjalanannya, ia menggunakan uang dari honorarium beberapa buku karangannya.
Cerita tersebut hanyalah satu dari banyak contoh keteladanan Bung Hatta. Masih banyak kisah lainnya yang menunjukkan keluhuran budi pekerti sang bapak bangsa.
Beberapa peneliti sejarah menggolongkan Bung Hatta ke dalam kelompok nasionalis-sekuler sebagai lawan dari kelompok nasionalis-Islam. TH Sumartana dalam buku Agama, Demokrasi dan Keadilan (1993) menyebut wakil presiden pertama RI itu sebagai nasionalis-sekuler “sebagaimana halnya Sukarno, Sjahrir, dan lain-lain.” Sementara, MC Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1981) menyebut perbedaan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta pada dekade-dekade jelang kemerdekaan RI sebagai “perpecahan di kalangan nasionalis sekuler.”
Padahal, perilaku Bung Hatta mencerminkan diri seorang Muslim yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam. Itu dilakukannya baik sebagai pejabat publik maupun warga biasa. Memang, sikap demikian ditunjukkannya tanpa melalui banyak retorika, melainkan tindakan nyata. Hal ini sejalan dengan filosofinya dalam berislam.
Bung Hatta membuat perbandingan antara garam dan gincu. Ketika garam larut dalam makanan atau minuman, pengaruhnya sangat menentukan.
Sajian akan terasa asin meskipun perubahannya tidak kasat mata. Sebaliknya, setetes gincu akan mengubah segelas air menjadi merah, tetapi rasanya tidak berubah.
Seorang Muslim hendaknya memakai “ilmu garam”, bukannya “ilmu gincu.” Kehadirannya terasa membawa nilai-nilai Islam di tengah masyarakat meskipun penampilan lahiriah atau label yang diusungnya tidak mengusung nama agama ini. Jangan, umpamanya, hanya tampak membawa-bawa nama Islam, tetapi tabiatnya justru jauh dari ajaran Nabi Muhammad SAW dan petunjuk Alquran.