Selasa 16 Mar 2021 20:14 WIB

Moderasi Yes, Radikalisme No!

sikap menghormati dan afirmasi di tengah kemajemukan harus dijunjung tinggi.

Logo HMI.
Foto: Google.plus
Logo HMI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia merupakan bangsa majemuk yang di dalamnya terdiri dari ragam suku, agama, dan bahasa. Kemajemukan itu menjadi nilai lebih sekaligus modal sosial dalam menjalin satu ikatan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh dan berdaulat.

Untuk itu sikap menghormati dan afirmasi di tengah kemajemukan harus dijunjung tinggi. Perkara ini bukan sekadar urusan antar sesama warga bangsa semata, melainkan pemerintah sebagai pemegang otoritas memiliki peranan paling signifikan.

Pemerintah harus dapat menjamin, melindungi dan menghormati hak asasi setiap warga bangsa agar tak tereksploitasi, terkooptasi, teramputasi oleh pelbagai anasir-anasir negatif baik dalam bentuk wacana maupun gerakan. Mengapa demikian? Lahirnya fenomena kekerasan dan teror atas nama identitas eksklusif turut mendatangkan ancaman bagi kaum minoritas dan marginal. Di titik ini kehadiran negara untuk melindungi menjadi suatu keharusan.

Fenomena teror dan kekerasan hendak di persepsikan sebagai radikalisme. Tumbuh suburnya radikalisme selain mengancam harmoni dan keakraban warga bangsa, juga, bukanlah persoalan yang muncul tanpa ada sebab. Radikalisme bukan keniscayaan sejarah yang sifatnya alamiah. Radikalisme merupakan implikasi logis dari proses dialektika.

Abdul Jamil Wahab, dalam Islam Radikal dan Moderat, menyebut tiga ihwal pokok dibalik lahirnya radikalisme. Pertama, adanya pemahaman yang cenderung memutlakkan pendapat dari kelompoknya. Kedua reaksi terhadap modernitas, utamanya gagasan-gagasan yang dipahami bertentangan dengan ajaran agama. Ketiga, instabilitas politik akibat transisi menuju demokrasi. Tiga problem tersebut merupakan trigger dibalik tumbuh berkembangnya radikalisme.

Orang cenderung tidak menerima pendapat seseorang yang bukan bagian dari kelompoknya. Ajaran agama dipahami secara eksklusif, sehingga perubahan sebagai keniscayaan sejarah dipahami secara tekstual tapi cenderung gagap di terjemahkan secara kontekstual. Demokrasi sebagai sistem politik, juga dinilai sangat problematis. Pada titik ini pemerintah di hadapkan dengan tantangan bagaimana menangkal radikalisme tanpa harus terjebak pada stereotip dan labeling?

Menggugat Pelabelan dan Stereotip

Berkaca pada peristiwa sejarah. Rejim Orde Baru sewaktu memberangus Marxisme-Leninisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap sangat bertentangan dengan pancasila dan mengancam persatuan dan keutuhan bangsa. Depolitisasi dan deideologisasi yang dicanangkan penguasa kalah itu justru memicu lahirnya stereotip dan labeling terhadap kelompok-kelompok yang cenderung kritis terhadap penguasa.

Subjektivitas penguasa Orde Baru memicu lahirnya fragmentasi di kalangan masyarakat sipil yang dampaknya terasa hingga kini. Pola semacam itu sudah tentu tak senafas dengan konteks kekinian. Menerapkan pola yang cenderung subjektif justru hanya akan mengekspos arogansi kekuasaan. Dalam sosiologi, labeling tidak sekadar difokuskan pada perilaku menyimpang semata, melainkan pada mereka yang tidak bersalah namun dituduh melakukan penyimpangan sehingga diperlakukan sewenang-wenang.

Kesewenang-wenangan inilah yang seringkali dialamatkan kepada kelompok eksklusif yang di persepsikan intoleran dan radikalis. Persepsi itu memberi ruang untuk melanggengkan stereotip negatif. Stereotip muncul ketika individu atau kelompok menyematkan radikalisme terhadap individu atau kelompok lain yang di persepsikan negatif sebagai ciri utamanya. Preseden aksi terorisme tidak jarang dijadikan pembenaran untuk menuding pihak lain yang dalam praktiknya dianggap menyerupai.

Kekeliruan semacam itu tidak lepas dari cara pandang yang reduksionis dan simplistik sebagai implikasi logis dari kekaburan makna radikalisme yang selama ini dikonstruksi penguasa. Bila dicermati, pemerintah sendiri mengartikan radikalisme selaku tindakan melawan hukum untuk mengubah sistem memakai cara-cara kekerasan. Pengertian ini menimbulkan kebingungan akan makna definitif dan ciri sekaligus indikator untuk menilai seseorang atau kelompok itu radikal atau tidak.

Tanpa ada batasan yang jelas, tentu itu akan makin memperburuk dan memperdalam persoalan. Kekaburan makna pada akhirnya akan melanggengkan stereotype dan labeling terhadap setiap perilaku yang dianggap menyimpang. Soal inilah yang mesti dihindari supaya tidak memupuk kecurigaan antar sesama warga bangsa. Karena itu konsepsi radikalisme harus di perjelas agar roadmap dalam menangkal radikalisme tidak menerabas hak asasi dan demokrasi.

Bagaimana pun juga problem radikalisme tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang masih memberi “ruang” bagi munculnya intoleransi. Merupakan suatu keharusan bagi pemerintah tuk menyelesaikan tanpa harus menimbulkan masalah di kemudiaan hari. Ihwal ini hanya mungkin jika ada melakukan identifikasi akar masalah secara komprehensif dan deteksi dini yang dapat diterjemahkan dalam kebijakan dan pendekatan yang lebih manusiawi, realistis dan artikulatif: moderat.

Mengutamakan Moderatisme

Runtuhnya tembok Berlin yang disertai dengan bubarnya Uni Soviet merupakan sejarah yang menandai kemenangan kapitalisme terhadap Sosialisme. Kapitalisme dengan pasar bebasnya (Neoliberalisme) hadir dengan misi mulia akan kesejahteraan dan keadilan. Walaupun faktanya justru berbanding terbalik dengan apa yang dicita-citakan. Sosialisme sebagai sebuah ideologi telah ditinggalkan pendukungnya, sedangkan kapitalisme tengah berada di tubir kehancuran!

Tatkala kapitalisme maupun sosialisme terjerembab dalam impase, Indonesia dengan ideologi Pancasila masih tetap kokoh dalam trayek menuju tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera dan berkeadilan sosial ekonomi di mana persatuan diposisikan sebagai landasan fundamentalnya. Menempatkan persatuan selaku fondasionalnya tidak lepas dari fakta empirik akan kemajemukan di Bumi Pertiwi.

Persatuan merupakan prasyarat menuju keadilan dan kesejahteraan. Tanpa adanya persatuan, Indonesia hanya akan dihadapkan pada masalah disharmoni dan konflik antar sesama warga bangsa yang pada derajat tertentu akan meluluhlantakkan seluru proyek emansipasi negeri ini. Untuk itu cara pemerintah dalam menangkal radikalisme hendaknya mengutamakan cara-cara moderat agar seluruh proyek emansipasi tetap berada dalam koridornya.

Moderasi merupakan suatu proses memahami sekaligus mengamalkan pemahaman secara adil dan seimbang. Jalan tengah inilah yang diperlukan pemerintah di tengah diferensiasi identitas dan kepentingan. Titik tekan terhadap keseimbangan ini senafas dengan kondisi Indonesia yang majemuk. Menangkal radikalisme dengan cara moderat dapat dipahami sebagai suatu ikhtiar menjaga dan merawat persatuan dan keutuhan negara bangsa. Apalagi persatuan merupakan hal prinsip.

Penulis dan Pengirim: Riyanda Barmawi (Calon Ketua Umum PB HMI Periode 2021 - 2023)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement