Sabtu 20 Mar 2021 18:13 WIB

AstraZeneca, Apa Sebenarnya Trombosis Itu?

Kasus trombosis yang lebih tinggi muncul pada konsumsi pil anti hamil

Kemenkes menunda distribusi vaksin AstraZeneca.
Foto: AP/Valentina Petrova
Kemenkes menunda distribusi vaksin AstraZeneca.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus trombosis di otak yang berakibat fatal, memicu dihentikannya penggunaan vaksin AstraZeneca di beberapa negara. Tapi apa sebenarnya trombosis ini? Apakah penghentian vaksinasi sudah tepat?

Semua negara yang menghentikan sementara penggunaan vaksin AstraZeneca mengajukan argumen yang sama. Mereka melakukan antisipasti dan tindakan berhati-hati.

Baca Juga

Sejauh ini sudah ditemukan 7 kasus langka trombosis pada pembuluh darah sinus di otak dari penyuntikan 1,6 dosis vaksin AstraZeneca di Eropa. Tiga kasus berakhir dengan kematian pasien.

Namun lembaga pengawas obat-obatan Eropa (EMA) sudah menegaskan, sejauh ini belum ada bukti kaitan langsung antara pemberian vaksin AstraZeneca dengan kasus trombosis, berdasar data yang dimiliki lembaga ini. Berbasis pernyataan EMA ini, Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya akan melanjutkan vaksinasi.

Rumah sakit Greifswald di utara Jerman mengumumkan sudah berhasil menemukan penyebab trombosis di otak akibat vaksinasi, dan sudah mengembangkan terapinya. Informasi ini juga sudah dibagikan ke seluruh rumah sakit di Eropa.

Fakta apa yang sudah diketahui?

Pada kasus orang yang mengalami cerebral venous sinus thrombosis (CVST) juga diketahui terjadinya defisiensi trombosit dalam darah, yang bisa mempengaruhi terjadinya penggumpalan darah.

Pada kasus CVST, penggumpalan darah menyumbat vena pada otak, yang fungsinya menyalurkan darah yang kandungan oksigennya rendah ke jantung. Jika aliran darah tidak lancar, tekanan pada otak akan meningkat dan di kawasan itu bisa terjadi pendarahan. Pada kasus terburuk CVST bisa memicu stroke yang berakibat fatal.

Walau begitu, trombosis tipe ini tergolong langka. Angka insidennya antara dua sampai lima kasus per satu juta orang per tahun. Namun riset terbaru dari Australia menunjukkan jumlah kasus yang lebih tinggi, rata-rata 15,7 kasus per satu juta orang per tahun.

"Berarti estimasi insiden aktual jauh lebih rendah antara empat kali hingga delapan kali lipatnya," ujar Paul Hunter, profesor kedokteran dari University of East Anglia.

 

sumber : DW
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement