Oleh : Esthi Maharani*
REPUBLIKA.CO.ID, Paus Fransiskus melakukan perjalanan bersejarah ke Irak pada awal Maret lalu. Bagi mayoritas warga Irak, puncak kunjungan Paus saat pertemuannya dengan pimpinan spiritual tertinggi syiah Irak, Ayatollah Ali al-Sistani di Najaf yang merupakan situs ziarah tersuci ketiga bagi Muslim Syiah setelah Makkah dan Madinah.
Sistani dikenal sebagai sosok yang tertutup dan jarang menerima tamu. Tetapi, ia bersedia membuka pintu untuk Paus. Spanduk di daerah Najaf pun dibentangkan dengan tema “pertemuan bersejarah antara menara kubah dan lonceng gereja”.
Kunjungan Paus mendapat respon positif di media Irak dan di negara-negara Muslim lainnya, termasuk Iran. Sebuah surat kabar besar Iran menyebut kedua pemimpin itu sebagai pembawa perdamaian dunia dan menganggap kunjungan tersebut sebagai dialog antar agama paling efektif yang tercatat dalam sejarah.
Kunjungan Paus Fransiskus dinilai sebagai titik balik dalam hubungan Kristen dan Muslim di Irak. Setelah Konsili Vatikan Kedua (1962-1965), para paus mulai melakukan dialog dengan Muslim. Paus Fransiskus sangat berhasil dalam meningkatkan hubungan itu. Paus menilai agama bisa menjadi bagian dari solusi di Timur Tengah.
“Permusuhan, ektremisme, dan kekerasan tidak lahir dari hati yang religius. Itu semua adalah bentuk pengkhianatan agama,” kata Paus Fransiskus di Ur, tempat kelahiran Nabi Ibrahim as.
Paus juga meminta semua warga Irak untuk bekerja sama demi perdamaian dan mengkritik negara-negara yang menjual senjata kepada para pejuang. Keragaman agama, budaya, dan etnis yang menjadi ciri khas masyarakat Irak selama ribuan tahun merupakan sumber daya yang bisa dimanfaatkan, bukan dihilangkan.
Al-Sistani sendiri mengatakan umat Kristen harus hidup seperti semua orang Irak dalam keamanan, perdamaian, dan hak konstitusional penuh. Dia menegaskan otoritas agama berperan melindungi mereka dan menegakkan ketidakadilan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Kunjungan Paus dianggap berhasil mencapai tiga tujuan yakni menunjukkan solidaritas pastoral dengan umat Kristiani yang menderita, menyerukan perdamaian dan rekonsiliasi Irak, dan membangun hubungan lebih baik antara umat Kristiani dan Muslim.
Yang perlu dicatat, bukan kali ini saja Paus Fransiskus melakukan perjalanan ke Timur Tengah. Jika menilik ke belakang, ia beberapa kali berkunjung ke negara lain di Timur Tengah. Misalnya saja pada 2017, Paus Fransiskus berkunjung ke Mesir dan bertemu Imam Besar Al Azhar, Syeikh Ahmed al Tayyeb. Pertemuan Al Azhar dan Vatikan menyepakati bahwa dialog merupakan jalan emas untuk membangun peradaban manusia.
Kunjungan Paus itu pun dibalas oleh Imam Besar Al Azhar ke Vatikan. Keduanya menjadi simbol persahabatan dan persaudaraan. Keduanya pun menandatangani Piagam Persaudaraan Umat Manusia se-Dunia. Lagi-lagi yang ditekankan dalam pencapaian itu adalah kemanusiaan untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan lebih damai di masa depan.
Perjalanan Paus ke negara Timur Tengah tak bisa dipungkiri telah menorehkan nilai historis, religius dan humanis. Paus berkali-kali menunjukkan dan menggarisbawahi pentingnya kemanusiaan sebagai bahasa untuk membawa perdamaian, apapun latar belakang agamanya. Paus membukakan jalan dan membukakan hati bahwa persaudaraan bisa dibangun kepada siapa saja.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id