REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif mencatat, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) meningkat signifikan pada penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. MK memerintahkan PSU pada 16 permohonan dan penghitungan suara ulang pada satu permohonan.
"Naik signifikan dari 2018, 2017, dan bahkan dari 2015 ini bisa dikatakan putusan MK yang memerintahkan pemungutan suara ulang di 2020 bisa mencapai empat kali lipat," ujar peneliti Kode Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana dalam diskusi daring, Selasa (23/2).
Ihsan memerinci, terdapat empat putusan MK yang memerintahkan PSU di Pilkada 2015 dan satu putusan yang memerintahkan penghitungan suara ulang. Kemudian, perintah PSU meningkat di Pilkada 2017 menjadi enam daerah dan satu daerah diperintahkan melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara ulang, lalu menurun pada Pilkada 2018 menjadi lima daerah yang PSU.
MK memerintahkan PSU di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) dalam 13 permohonan, antara lain, pemilihan bupati (pilbup) Wondama, Yalimo, Morowali Utara, Labuhanbatu Selatan, Labuhanbatu, Mandailing Natal, Halmahera Utara, Penukal Abab Lematang Ilir, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, pemilihan wali kota Banjarmasin, pemilihan gubernur (pilgub) Kalimantan Selatan, dan pilgub Jambi. Sedangkan, dua permohonan sengketa hasil pilbup Nabire, MK memerintahkan PSU di seluruh TPS.
Satu putusan PSU lainnya dijatuhkan dalam perkara perselisihan hasil pilbup Boven Digoel, Papua, tanpa mengikutsertakan pasangan calon nomor urut 4 Yusak Yaluwo-Yakob Waremba. MK mendiskualifikasi paslon peraih suara terbanyak tersebut, karena Yusak sebagai mantan terpidana tidak memenuhi syarat masa jeda lima tahun.
Selain itu, MK memerintahkan penghitungan suara ulang di pilbup Sekadau, Kalimantan Barat. Sementara, 15 permohonan lainnya yang masuk hingga putusan akhir, rinciannya 10 permohonan ditolak dan lima permohonan tidak dapat diterima.