REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan sejumlah perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020, profesionalitas penyelenggara disorot. Meningkatnya jumlah putusan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2020 dinilai menjadi indikasi penyelenggara, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tidak cukup profesional menjalankan tugasnya.
"Saya kira pada prinsipnya iya, itu satu indikasi yang jelas bahwa memang mereka tidak cukup terampil atau tidak cukup profesional," ujar anggota KPU RI periode 2012-2017 Hadar Nafis Gumay saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (24/3).
Ia mengatakan, berdasarkan putusan MK tersebut, penyelenggara tidak dapat melaksanakan sejumlah proses pemilihan sesuai ketentuan yang berlaku. Menurut dia, hal ini karena mereka tidak cukup siap atau tidak tangkas menghadapi perkembangan yang terjadi sepanjang tahapan pilkada.
"Jadi memang persoalan profesionalitas, kesiapan, kecakapan itu terlihat menjadi persoalan serius bagi penyelenggara," kata Hadar.
Menurut Hadar, untuk memastikan kesiapan penyelenggara, maka harus dimulai dari proses seleksi yang optimal. Apalagi KPU dan Bawaslu daerah juga perlu memastikan penyelenggara ad hoc dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik.
Selain itu, seleksi penyelenggara pemilu juga perlu disiapkan jauh-jauh hari. Hal ini untuk memastikan KPU, Bawaslu, dan badan ad hoc diisi orang-orang yang kompeten, kredibel, berintegritas, dan profesional.
Namun, panitia seleksi yang turut andil dalam proses rekrutmen juga harus dipastikan memahami kepemiluan dan independen atau tidak berafiliasi pada kekuasaan di daerah. Sehingga, penyelenggaraan pemilihan akan lebih berkualitas dengan para penyelenggara yang juga berkualitas.
"Saya kira itu yang perlu dipersiapkan. Tantangannya di 2024 menjadi lebih besar lagi, jadi enggak bisa kalau kemudian tidak dipersiapkan dari sekarang," tutur peneliti senior Netgrit itu.