REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendiskualifikasi pasangan calon pada pemilihan bupati (pilbup) Boven Digoel menjadi catatan penting bagi semua pihak. Khususnya penyelenggara pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), untuk tidak salah lagi menafsirkan syarat masa tunggu lima tahun bagi mantan terpidana dapat menjadi peserta pemilihan.
"Ini yang menurut saya menjadi pembelajaran penting dan akibatnya kan juga tidak kecil, mesti dilakukan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Kabupaten Boven Digoel," ujar peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dalam diskusi daring, Kamis (25/3).
Dia menjelaskan, putusan MK atas perselisihan hasil pilbup Boven Digoel tersebut mengoreksi putusan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa pencalonan. Menurut Fadli, Bawaslu memaknai status mantan terpidana hanya sebatas orang yang menjalani pidana dalam kurungan penjara.
Padahal, jauh sebelum adanya putusan MK terhadap perkara sengketa hasil pilkada itu, MK juga sudah menjelaskan batasan masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana untuk dapat mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan. Putusan MK yang dimaksud adalah nomor 56/PUU-XII/2019 terhadap uji materi Undang-Undang (UU) Pemilihan.
Seharusnya, putusan MK tersebut menjadi pedoman Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa pencalonan. Selain itu, kata Fadli, semestinya Bawaslu juga merujuk pada ketentuan administrasi pemilu, baik UU, putusan MK, maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) agar tidak ada salah penafsiran terhadap ketentuan pemilu.