REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki, Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)
Sehari setelah peristiwa bom bunuh diri di depan Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, postingan, komentar, dan diskusi tentang agama pelaku bom bunuh diri dan dikaitkan atau tidak dikaitkannya agama si pelaku dengan aksi bom bunuh diri memanas di media sosial.
Tak terkecuali saya yang harus berdiskusi panjang dan hangat di sebuah grup WA dengan kawan saya. Kawan saya ini berpendapat bahwa pelaku bom bunuh diri di depan Katedral Makassar harus diakui sebagai umat beragama agar tokoh dan pemuka dari agama si pelaku bom bunuh diri ini ikut bertanggung jawab menyelesaikan persoalan bom bunuh diri yang masih saja terulang.
Namun, saya memiliki pandangan berbeda dengan dia. Menurut saya, pelaku bom bunuh diri tersebut tidak dan jangan dikaitkan dengan agama si pelaku.
Bahkan, ketika aksi pengeboman bunuh diri itu dilakukan, si pelaku justru sedang tidak beragama. Sederhana saja penjelasannya, yaitu arti agama sendiri secara bahasa adalah tidak kacau.
Orang yang beragama berarti orang yang hidupnya tidak kacau dan tidak membuat kekacauan. Lagi pula agama mana yang teks kitab sucinya dan perkataan rasul yang menyampaikan agama tersebut yang memerintahkan atau membenarkan aksi bom bunuh diri?
Perkara di kartu indentitas si pelaku bom bunuh diri tercantum nama agamanya atau orang melihat si pelaku bom bunuh diri menjalankan ritual ibadah dari agama tertentu, maka itu bukan ukuran bahwa dia sudah beragama. Karena efek ritual ibadah yang dia kerjakan seharusnya membuat dia tercegah dari melakukan perbuatan keji dan kemungkaran, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, dan berkasih sayang dengan sesama.
Baca juga : Makassar Suicide Bombers were Members of JAD
Jika pun dipaksakan si pelaku bom bunuh diri ini terkait dengan agama tertentu, maka itu bukan agama, tetapi pseudo religion, pseudo agama, agama palsu atau agama tiruan. Pseudo religion, disadari atau tidak oleh pemeluknya, bisa bertujuan untuk merendahkan, bahkan untuk menghinakan sistem kepercayaan atau agama yang sudah mapan.
Karenanya, menafsirkan ajaran agama untuk melegitimasi aksi bom bunuh diri merupakan bentuk dari pseudo agama. Penafsir dan pelaku bom bunuh diri mengeklaim dirinya sebagai penganut agama tertentu, tetapi justru mereka ini telah membuat agama tiruan dari agama yang diklaimnya.
Lalu, kembali ke persoalan awal, apa agama pelaku bom bunuh diri di depan Katedral Makassar ini? Sebut saja mereka beragama dengan agama tiruan, pseudo agama, yang saya bisa menyematkan nama agama tiruan pelaku bom bunuh diri tersebut dengan nama bom bunuhdiriisme. Atau jika terafiliasi ke kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), maka nama agama tiruan mereka adalah sadisme atau nama isme lainnya.
Karena isme yang merupakan istilah lain dari agama tiruan sejatinya bukan agama, isme lebih rendah dari agama dan, sekali lagi, kerap digunakan untuh merendahkan dan menghinakan agama demi ambisi dan tujuan tertentu.
Karenanya, menurut saya, pemuka, tokoh, dan para penganut agama tidak perlu merasa bertangung jawab atas perbuatan pelaku bom bunuh diri dan jangan pula ada pihak yang memaksakan agama tertentu bertanggung jawab terhadap pelaku bom bunuh diri.
Baca juga : Covid-19 Masuk Sekolah
Hal ini karena agamalah yang sejak pertama muncul ribuan tahun lalu yang justru dengan tegas melarang dan mengutuk perbuatan bunuh diri, yang saat ini dengan bom bunuh diri untuk membunuh orang lain, bukan isme!