Kamis 01 Apr 2021 16:29 WIB

Menyoal Lone Wolf, Sang Serigala Penyendiri

Mendadak kata lone wolf ramai dibicarakan pascapenyerangan ke Mabes Polri.

Pantauan CCTV saat terjadi baku tembak di Mabes Polri.
Foto: Istimewa
Pantauan CCTV saat terjadi baku tembak di Mabes Polri.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Elba Damhuri, Head of Republika.co.id

Mendadak kata lone wolf atau serigala penyendiri menjadi bahan perbicangan ramai baik di dunia nyata maupun dunia maya. Kasus penembakan terhadap seorang wanita berinisial AZ (25 tahun) di halaman Gedung Mabes Polri menjadi sebab. 

Baca Juga

AZ disinyalir melakukan aksi "menyerang" seorang diri di markas polisi. Kapolri menegaskan AZ adalah seorang lone wolf teroris alias teroris yang beraksi sendiri tanpa mengikuti kelompok tertentu atau komando teroris lain.

Sebetulnya, apa itu lone wolf?

Dalam bukunya yang terkenal, Undertanding Lone Wolf Terorrism: Global Patterns, Motivations and Prevention, Ramon Spaaij cukup jeli menguraikan tentang lone wolf ini. Ramon Spaaij adalah professor di Victoria University Melbourne, Australia, and mengepalai Sociology of Sport di Department Sosiologi University Amsterdam Belanda.

Spaaij mengidentifikasi 88 kasus terorisme serigala sendirian di Amerika Utara, Eropa, dan Australia antara tahun 1940 dan 2010. Kasus-kasus itu mengakibatkan 198 serangan yang merenggut 123 nyawa dan melukai ratusan lainnya. 

Spaaij menggunakan analisis studi kasus dan menyimpulkan bahwa meskipun tidak ada profil standar tertentu dari lone wolf, tetapi radikalisasi lone wolf cenderung dihasilkan dari kombinasi proses individu, hubungan antarpribadi dan keadaan sosial-politik, dan budaya. 

Ada lima hal penting yang dicatat Spaaij terkait lone wolf ini berdasarkan riset yang dia lakukan. Pertama, Spaaij menemukan lone wolf cenderung menciptakan ideologi mereka sendiri yang menggabungkan frustrasi pribadi dengan keluhan-keluhan dan ketidakpuasan politik, sosial atau agama. Karena motif ini bersifat campuran sehingga agak sulit bagi aparat untuk menetapkan motif yang jelas untuk sebuah serangan teror lone wolf.

Kedua, bertentangan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa teroris tidak menderita psikopatologi yang dapat diidentifikasi, Spaaij menunjukkan bahwa serigala penyendiri cenderung menderita beberapa bentuk gangguan psikologis. Ada persoalan kejiwaan yang mendera para lone wolf ini.

Ketiga, lone wolf cenderung menderita ketidakmampuan sosial dan dalam berbagai tingkatan, mereka menyendiri dengan sedikit teman dan lebih suka bertindak sendiri. Mereka tidak mau berinteraksi meskipun berada dalam sebuah komunitas atau gerombolan. 

Keempat, meskipun serigala penyendiri menurut definisi tidak berafiliasi dengan organisasi teroris, mereka bisa melakukan identifikasi atau bersimpati dengan kelompok ekstremis tertentu. Mereka, para lone wolf ini, mungkin pernah menjadi anggota kelompok semacam itu di masa lalu atau pernah berempati dan simpati. 

Organisasi-organisasi ini yang mereka simpatikan ini memberikan semacam ideologi validasi kepada lone wolf. Ideologi validasi ini yang kemudian masuk ke kepala mereka dan bercampur dengan pikiran-pikiran kekecewaan dan kemarahan yang sudah membuncah.

Kelima, terorisme lone wolf jelas tidak terjadi dalam ruang hampa sosial. Sebaliknya, radikalisasi lone wolf dapat memanifestasikan dirinya dalam sikap aktif, yang melibatkan ekspresi keyakinan politik dan konfrontasi fisik dan verbal dengan musuh. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement