REPUBLIKA.CO.ID --- Oleh Ramdhan Muhaimin, Dosen dan Peneliti di Pusat Studi Perdamaian dan Pertahanan (PSPP) Laboratorium Politik Internasional Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas al-Azhar Indonesia (UAI)
Sejak militer mengambil alih secara paksa pemerintahan sipil di bawah Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy) pada 1 Februari 2021 lalu, kondisi sosial politik di Myanmar kembali bergerak menuju pada ketidakpastian.
Kudeta yang dilakukan pemimpin Tatmadaw Jenderal Min Aung Hlaing tak lama setelah NLD partai pimpinan Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu, telah menjadi ‘mimpi buruk’ rakyat Myanmar.
Ribuan warga terpaksa eksodus ke perbatasan negeri tetangga. Tidak sedikit juga yang justru meminta perlindungan dari kelompok milisi bersenjata yang sejak 1948 berkonfrontasi dengan junta militer.
Padahal, dalam satu dekade terakhir, demokrasi di Myanmar mengalami kemajuan signifikan. Namun ‘tradisi’ kudeta ternyata belum sepenuhnya hilang dari perpolitikan di negeri Pagoda Emas tersebut.
Hingga saat ini, gelombang demonstrasi menolak kudeta militer terus terjadi. Sudah lebih dari 560 warga tewas oleh tentara Myanmar. Korban terbanyak pada Sabtu 27 Maret 2021 lalu, 114 orang tewas dalam satu hari oleh tindakan represif militer.
Ironisnya, hal itu terjadi di saat Tatmadaw merayakan Hari Angkatan Bersenjata melalui parade persenjataan militer. Sementara lebih dari 5.000 orang ditahan, termasuk Aung San Suu Kyi dan oposisi pro-demokrasi.
Gelombang protes bukannya makin surut, justru makin meluas. Seluruh lapisan masyarakat ikut bergabung ke dalam gerakan perlawanan kudeta, mulai dari pegawai pemerintah, tenaga pendidik, tenaga kesehatan, buruh, hingga pekerja di pabrik-pabrik alutsista milik Tatmadaw.
Sejumlah kelompok milisi bersenjata di perbatasan ikut ambil bagian bergabung dengan gerakan anti-kudeta. Junta militer mengumumkan ‘gencatan senjata’, tapi tidak terhadap para demonstran.
Kalkulasi politik sang jenderal
Kudeta militer dalam politik Myanmar memang sudah berulang kali terjadi. Tapi kudeta kali ini dilakukan di saat Tatmadaw sebenarnya sedang membuka diri kerja sama dengan Barat. Apakah Tatmadaw ‘salah’ perhitungan?
Jenderal Min Aung Hlaing berdalih kudeta terhadap kepemimpinan Aung San Suu Kyi dan pemerintahan Myint Swe adalah amanat konstitusi dan untuk menyelamatkan demokrasi.
Aung San Suu Kyi dituduh melakukan kecurangan pemilu pada November 2020, suap politik, pelanggaran protokol kesehatan, UU penanggulangan bencana alam, hingga tudingan pembocoran rahasia negara karena kedekatannya dengan China.
Namun kudeta yang diharapkan berlangsung cepat, justru menjadi snow ball effect gelombang perlawanan. Di dalam negeri, Myanmar menjadi kacau, tidak stabil.
Secara internal, gelombang protes semakin meluas, korban jiwa terus berjatuhan, serta arus eksodus warga keluar perbatasan mencari perlindungan ke negara tetangga.
Secara eksternal, dunia internasional turut bereaksi menekan kekerasan junta militer, perusahaan terkoneksi junta dibekukan, investasi asing dihentikan, sejumlah diplomat perwakilan negara asing ditarik pulang, dan kecaman datang mulai dari ASEAN, Eropa, Amerika Serikat, hingga DK PBB. Rusia dan China ikut menyesalkan represifitas junta militer.
Sumber Asli: https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/opini-kalkulasi-politik-dalam-krisis-myanmar/2198411