REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu dari tiga penyintas COVID-19 menerima diagnosis neurologis atau kejiwaan dalam enam bulan setelah terinfeksi virus SARS-CoV-2. Hal ini berdasarkan studi observasi terhadap lebih dari 230 ribu catatan kesehatan pasien yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet Psychiatry.
Studi ini mengamati 14 gangguan kesehatan neurologis dan mental. Profesor Paul Harrison dari Universitas Oxford, penulis utama studi tersebut mengatakan bahwa ini adalah data dunia nyata dari sejumlah besar pasien.
Mereka mengkonfirmasi tingginya tingkat diagnosis kejiwaan setelah COVID-19, dan menunjukkan bahwa gangguan serius yang mempengaruhi sistem saraf seperti stroke dan demensia juga terjadi.
"Meskipun demensia jauh lebih jarang, namun cukup signifikan, terutama pada mereka yang menderita COVID-19 parah," kata Prof. Harrison, dilansir di Eureka Alert, Rabu (7/4).
Meskipun risiko individu untuk sebagian besar gangguan kecil, efeknya di seluruh populasi mungkin besar untuk kesehatan dan sistem perawatan sosial. Akibatnya, sistem perawatan kesehatan perlu untuk mendapatkan sumber daya untuk menangani kebutuhan yang diantisipasi, baik dalam layanan perawatan primer dan sekunder.
Sejak pandemi COVID-19 dimulai, muncul kekhawatiran bahwa orang yang selamat mungkin berisiko tinggi mengalami gangguan neurologis. Sebuah studi observasi sebelumnya oleh kelompok penelitian yang sama melaporkan bahwa penyintas COVID-19 berada pada peningkatan risiko gangguan mood dan kecemasan dalam tiga bulan pertama setelah infeksi.
Namun, hingga saat ini, belum ada data berskala besar yang meneliti risiko diagnosis neurologis maupun kejiwaan dalam enam bulan setelah infeksi COVID-19.
Studi terbaru ini menganalisis data dari catatan kesehatan elektronik dari 236.379 pasien COVID-19 dari jaringan TriNetX yang berbasis di AS, yang mencakup lebih dari 81 juta orang. Pasien yang berusia lebih dari 10 tahun dan yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 setelah 20 Januari 2020, dan masih hidup pada 13 Desember 2020, dimasukkan dalam analisis.
Kelompok ini dibandingkan dengan 105.579 pasien yang didiagnosis influenza dan 236.038 pasien yang didiagnosis infeksi saluran pernapasan (termasuk influenza).