REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kecerdasan buatan bisa buat diagnosis medis lebih cepat daripada dokter. Machine Learning merevolusi dunia kedokteran dalam melawan berbagai penyakit.
Menetapkan diagnosa yang tepat, juga pada penyakit berat bukan hal mudah. Dalam dunia kedokteran, teknologi canggih juga digunakan. Misalnya dengan pencitraan resonansi magnetik. Dalam citra terperinci, struktur organ-organ tubuh bisa terlihat.
Apakah itu cara terbaik? Andreas Lemke, manajer dan pengembang program pada Mediaire mengatakan seorang pakar radiologi saat ini hanya punya sedikit waktu untuk menganalisa gambar. Kira-kira 10 menit bagi setiap pasien.
"Padahal ada 200-400 gambar, yang harus dilihat," ucap dia.
Artinya, ia memberikan penilaian berdasarkan pengalamannya. Sementara piranti lunak yang dikembangkan Mediaire menganalisa setiap pixel dan menangkap struktur otak.
Mesin yang mampu belajar
Machine Learning begitu nama teknologinya. Data dalam jumlah besar dihubungkan oleh sebuah algoritme. Komputer yang dilengkapi inteligensia artifisial ini belajar mengenali sklerosis multipel atau MS, dan serangan demensia pada otak. Semakin besar dan terperinci datanya, semakin tepat pula hasilnya. Perusahaan IT di Berlin itu menggunakan program inteligensia artifisial, yang sudah lebih pintar daripada dokter.
"Setiap bagian proses akan kami otomatisasi. Semakin banyak piranti lunak juga akan bisa menganalisa masalah tertentu. Akhirnya seorang ahli radiologi hanya akan memeriksa informasi tertentu. Hal lainnya dikerjakan piranti lunak," ucap dia.
Piranti lunak yang mampu belajar itu juga digunakan dalam upaya memerangi COVID-19. Misalnya dalam tes Corona untuk masyarakat luas.
Dalam waktu dekat akan ada aplikasi baru, yang dengan bantuannya, tes infeksi bisa dilaksanakan hanya dengan pengenalan suara. Tes kilat audio itu tidak bisa menggantikan tes dengan sampel dari tenggorokan. Tapi ketepatannya bisa sampai 90 persen. Sekarang, data suara dari sebanyak mungkin orang dikumpulkan untuk melatih "software".