REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Lili Nur Aulia, Sekretaris Institut Indonesia
Partai Islam Ennahda di Tunisia hingga hari ini masih terus menghadapi serangan partai dan kelompok sekuler liberal. Ennahda adalah pemenang pemilu dengan suara 23 persen pada pemilu legislatif Tunisia tahun 2019.
Namun, kemenangan yang tidak mutlak itu meninggalkan kelompok sekuler dan liberal yang terus menentang peran politik Ennahda yang beraliran Islam. Kelompok anti Ennahda merupakan kekuatan politik yang sudah puluhan tahun bercokol di Tunisia.
Baru-baru ini, Selasa (13/4), sejumlah partai politik dan organisasi hak asasi manusia (HAM) Tunisia menuding Partai Islam Ennahda yang memiliki agenda untuk mengontrol media dengan menunjuk orang-orang tertentu memimpin lembaga media. Salah satu pihak yang menuding itu adalah Sindikat Jurnalis Tunisia dan Partai Gerakan Rakyat.
Mereka mengirimkan opini publik dengan judul "Lepaskan Cengkeraman Tangan Kalian dari Media". Dalam opini itu mereka memperingatkan adanya upaya untuk menyingkirkan demokrasi dengan mendominasi media melalui penunjukan orang-orang pro Ennahda sebagai kepala kantor berita resmi. Mereka menuntut pemerintah untuk menganut prinsip kapabilitas dalam pemilihan kepemimpinan media.
Beberapa waktu lalu pemerintah Tunisia memang mengumumkan penunjukan jurnalis Kamal Ben Younes sebagai kepala Kantor Berita Afrika Tunisia. Ben Younes dianggap memiliki catatan sebagai orang yang tidak demokratis karena berperan dalam proses pergantian paksa struktur Sindikat Jurnalis Tunisia. Dan dia dikenal pro Ennahda.
Ketua Partai Konstitusi Bebas Tunisia, Abeer Moussa, mengatakan kepada Al-Arabiya TV bahwa pemerintah saat ini adalah sandera dari Partai Ennahda. Menurutnya berbagai kebijakan gerakan Ennahda didasarkan pada kebijakan personel pemimpinnya Rached Ghannouchi yang memiliki peran negatif bagi rekonsiliasi Tunisia.
Mereka juga menolak penunjukan jurnalis Kamal Ben Younes yang berafiliasi dengan "Gerakan Ennahda" sebagai kepala Administrasi Umum "Kantor Berita Afrika Tunisia". Ia meminta Perdana Menteri Hisham Al-Meshishi untuk segera membatalkan penunjukan ini dan menjauhkan media publik dari konflik partisan. Sejumlah jurnalis mengancam akan memboikot pemberitaan tentang pemerintah jika penunjukan Ben Younes tidak dianulir.
Gempuran terhadap kebijakan politik Islam Ennahda memang seperti tak berhenti terjadi. Pertengahan 2019 lalu, pasca pelantikan Ghannouchi sebagai pimpinan Parlemen Tunisia, terjadi gerakan mosi tidak percaya terhadap Ghannouchi.
Namun kubu sekuler harus gigit jari karena tak berhasil memenuhi kuota minimal dukungan 109 suara dari total 217 suara. Mereka hanya berhasil mengumpulkan 97 suara. Sementara 18 suara tidak sah, dan yang mendukung Ghannouchi 132 suara. Kubu pro Ennahda memang menang, tapi kubu sekuler menuduh angka suara yang dinyatakan tidak sah itu manipulasi.
Selanjutnya, beragam aksi pro kontra kehadiran Ennahda yang dianggap mewakili aliran Islamis terus terjadi. Pengujung Februari tahun ini, di tengah larangan berkerumun karena pandemi Covid-19, aksi demonstrasi pro dan kontra Ennahda berlangsung di kota-kota Tunisia.
Pihak pendukung Ennahda menggelar aksi bertema “Membela Konstitusi dan Parlemen yang Sah”. Sementara barisan sekuler liberal juga mengerahkan massa untuk menolak Ennahda yang dituding perpanjangan tangan kelompok teroris.
Pendukung Ennahda menegaskan bahwa pihaknya merupakan entitas politik Islam moderat yang telah terbukti peran serta kebijakannya yang akomodatif dengan beragam perbedaan serta menjunjung persatuan.
Sedangkan di pihak anti Ennahda memunculkan adanya kasus personal Ennahda yang berinteraksi dengan kelompok teroris ISIS dan kebijakan yang antidemokrasi. Tak tanggung-tanggung, kelompok sekuler liberal Tunisia juga pernah mendatangi kantor cabang Lembaga Asosiasi Ulama Islam Internasional (Ittihad Ulama Muslimin Aalamy), yang terletak di Montplaisir, Tunis. Mereka menuding lembaga ini merupakan kaki tangan Ennahda yang membawa pemikiran teroris radikal.
Ada pengamat politik yang skeptis memandang kondisi politik aliran yang melanda Tunisia. Mereka menganggap politik aliran sudah gagal diterapkan di Tunisia karena publik yang mengalami pragmatisme politik, tak mau peduli karena kondisi krisis perekonomian negara.
Sejumlah pengamat lain menganggap situasi ini meski meruncing dan terjadi beberapa tahun, tapi tetap bersifat sementara saja. Hal ini lantaran situasi yang memang dibuat oleh kelompok yang ingin memunculkan kegaduhan politik dalam negeri Tunisia melalui aliran sekuler liberal yang ada di jalur politik dan sosial Tunisia. Mereka memang punya akar sejarah panjang tentang sekulerisme.
Begitulah. Partai Islam Ennahda memang partai pemenang pemilu pada 2019. Namun sayangnya karena kemenangan itu bukan kemenangan mutlak, maka masih menyisakan kubu kekuatan politik anti Ennahda yang bisa dominan bila mereka membentuk koalisi politik di parlemen.