Oleh : Ratna Puspita, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, DPR RI pekan lalu mengetok palu soal pembentukan dua kementerian, yakni Kementerian Investasi dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pembentukan dua kementerian ini memberi sinyal dua hal. Pertama, pemerintah menggabungkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Kedua, penggabungan tersebut sepertinya karena pemerintah merasa butuh membentuk Kementerian Investasi.
Pembentukan Kementerian Investasi atau kementerian baru lain adalah hak prerogatif Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagai kepala pemerintahan, Jokowi seharusnya memang lebih paham apa yang dia butuhkan dan perlukan untuk menjalankan roda pemerintahan.
Namun, penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi tentu mengejutkan. Tidak sampai lima tahun kepemimpinan periode kedua, Jokowi mengubah kebijakan soal kementerian yang membidangi masalah pendidikan dan riset.
Menilik ke belakang, Jokowi memutuskan 'menceraikan' pendidikan tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada periode pertamanya. Dalam proses perceraian ini, direktorat jenderal pendidikan tinggi dipindahkan ke Kementerian Riset dan Teknologi. Alasan ‘perceraian’ ini, agar pendidikan tinggi dapat memfokuskan pada riset-riset yang bisa diaplikasikan langsung ke masyarakat.
Kementerian Pendidikan Nasional pun berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sementara Kementerian Riset dan Teknologi berganti jadi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Kala itu, Jokowi melantik Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan, sedangkan Mohamad Nasir sebagai menteri riset teknologi dan pendidikan tinggi.
Nomenklatur kementerian ini ternyata hanya bertahan lima tahun. Jokowi kembali ‘mengawinkan’ direktorat jenderal pendidikan tinggi ke Kemendikbud, sedangkan Kemenristekdikti berubah nama menjadi Kemenristek. Nadiem Makarim menjadi orang nomor satu di Kemendikbud, sedangkan Bambang Brodjonegoro memimpin Kemenristek yang sekaligus Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Namun, persetujuan DPR, yang didasarkan dari permintaan pemerintah, menunjukkan kebijakan Jokowi soal kementerian pendidikan dan riset kembali berubah dalam waktu dua tahun. Perubahan ini sekaligus memberi sinyal bahwa Jokowi segera melakukan perombakan kabinet atau reshuffle.
Sinyal reshuffle sudah diaminkan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin. Jokowi akan melakukan perombakan Kabinet Indonesia Maju pada pekan ini.
Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah Nadiem akan diganti? Jika iya, bagaimana nasib program-programnya? Tulisan ini bukan bermaksud membela Nadiem, tetapi melihat pada persoalan pendidikan yang kerap kali berubah kebijakan ketika menterinya berganti.
Perubahan kebijakan pendidikan tentu saja melelahkan bagi orang-orang yang bekerja dalam sektor ini. Baru penyesuaian satu kebijakan, pemerintah tiba-tiba berganti lagi kebijakannya.
Dalam konteks pendidikan tinggi, misalnya, perguruan tinggi sekarang ini sedang menyesuaikan diri dengan perubahan yang dilakukan Nadiem bernama Merdeka Belajar Kampus Merdek (MBKM). Perubahan yang memaksa perguruan tinggi untuk berkolaborasi dengan perguruan tinggi lain dan pihak swasta.
Perubahan yang membuka peluang bagi mahasiswa untuk mendapatkan ilmu tidak hanya dari kelas, melainkan melalui praktik langsung. Pada semester depan, misalnya, Kemendikbud akan menerapkan program bernama Pertukaran Mahasiswa Merdeka yang memungkinkan mahasiswa belajar dari kampus lain.
Ini baru soal pengajaran. Urusan pendidikan sering kali juga terkait dengan tetek-bengek administrasi yang melelahkan. Persoalan administrasi ini juga sangat berpotensi berubah ketika kebijakan mengalami perubahan.
Karena itu, kabar reshuffle ini tentu memunculkan dag-dig-dug juga soal nasib program-program yang sedang berjalan sekarang, termasuk pengurusan administrasi bagi orang-orang yang berada dalam sektor ini.
Dag-dig-dug ini sekaligus memberikan sinyal bahwa negara ini membutuhkan grand design soal pendidikan. Hal ini agar jangan sampai ganti pemimpin, ganti pula kebijakan pendidikan.