REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para peneliti dari Indiana University School of Medicine selangkah lebih dekat dalam mendeteksi gangguan mood dengan tes darah klinis yang obyektif. Sebuah studi baru mendeskripsikan pengembangan panel biomarker berbasis darah yang bisa membedakan antara depresi dan gangguan bipolar, serta mengukur risiko seseorang di masa depan untuk mengembangkan kondisi ini.
Selama lebih dari satu dekade, Alexander Niculescu dan tim ilmuwan telah mencari pola biomarker ekspresi gen berbasis darah, yang berkorelasi dengan sejumlah kondisi yang saat ini tidak mungkin untuk didiagnosis secara objektif. Salah satu makalah Niculescu yang baru-baru ini diterbitkan, menjelaskan pola penanda biologis RNA yang bisa secara efektif mengidentifikasi pasien yang paling berisiko mengembangkan gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
“Kami telah memelopori bidang pengobatan presisi dalam psikiatri selama dua dekade terakhir, khususnya selama 10 tahun terakhir. Studi ini mewakili hasil terkini dari upaya kami. Ini adalah bagian dari upaya kami untuk membawa psikiatri dari abad ke-19 hingga abad ke-21,” kata Niculescu, dilansir dari newatlas, Senin (19/4).
Studi terbarunya, yang diterbitkan dalam jurnal Molecular Psychiatry, berfokus pada gangguan mood. Lebih khusus lagi, penelitian ini tertarik pada apakah biomarker ekspresi gen darah bisa membedakan antara depresi dan gangguan bipolar.
Tahap pertama penelitian melibatkan pengambilan beberapa sampel darah dari sekelompok besar orang dewasa selama beberapa tahun. Ini memungkinkan keadaan mood akut, berkorelasi dengan perubahan biomarker darah. Akhirnya para peneliti menemukan 26 biomarker ekspresi gen spesifik yang paling terkait dengan depresi, gangguan bipolar, dan mania.
Para peneliti kemudian memvalidasi panel biomarker ini dalam kelompok independen, memverifikasi tes darah prospektif dapat secara efektif membedakan antara depresi dan gangguan bipolar, serta mengukur keparahan akut gangguan mood pasien saat ini.
Lebih dari sepertiga gen yang dilacak di panel terakhir diketahui memengaruhi jam sirkadian seseorang. Niculescu mengatakan, ini mungkin menjelaskan mengapa gangguan mood sangat terkait dengan gangguan tidur.
“Itu menjelaskan mengapa beberapa pasien menjadi lebih buruk ketika perubahan musim dan perubahan tidur yang terjadi pada gangguan mood,” ucap Niculescu.
Mungkin perlu beberapa tahun sebelum tes darah untuk depresi seperti ini digunakan secara klinis, tetapi alat diagnostik baru ini menjanjikan masa depan yang luar biasa dari pengobatan presisi yang dipersonalisasi.
Tes darah ini tidak hanya bisa membantu dokter secara obyektif mendiagnosis kondisi yang sebelumnya hanya terdeteksi melalui pelaporan diri subjektif, tetapi juga dapat membantu mencocokkan pasien dengan obat yang akan bekerja paling baik untuk kondisi spesifik mereka.
Niculescu dan timnya juga melihat ke fokus klinis masa depan pada pengobatan pencegahan gangguan mood ini, menggunakan tes biomarker seperti ini untuk mendeteksi pasien yang paling berisiko mengalami gangguan bipolar atau depresi, dan memberikan pengobatan lebih awal.
“Kami berharap bahwa penanda sifat kami untuk risiko di masa depan dapat berguna dalam pendekatan pencegahan, sebelum gangguan besar-besaran memanifestasikan diri seseorang (atau terjadi kembali). Pencegahan dapat dilakukan dengan intervensi sosial, psikologis, atau biologis,” para peneliti menyimpulkan dalam studi baru itu.