REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teguh Imami, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Airlangga
Membahas Kartini tidak akan ada habisnya. Kisahnya selalu menawarkan pembaharuan. Meski setiap tahun diperingati dan diagungkan pengikutnya, ia selalu saja hadir dengan kisah-kisah baru yang apik, cerdik, dan ciamik. Kartini boleh sudah tidak ada, namun, kisahnya selalu dipelajari generasi yang selalu muda.
Kisah Kartini selalu memberikan banyak prespektif. Perjuangannya bukan sekadar berpijak pada emansipasi wanita. Itu hanyalah bagian kecil dari kisah hidupnya. Kisahnya juga memberikan banyak contoh prespektif: pertama, Membungkam peran kekuasaan. Kedua, Melawan kejumudan zaman dengan ilmu sebagai garis perjuangan, dah ketiga, tokoh pendidikan.
Banyak buku yang sudah menulis kisah Kartini, salah satunya karya sastrawan terkenal, Pramodya Ananta Toer, karyanya ia beri judul “Panggil Aku kartini Saja”. Dalam buku tersebut Pramodya menggambarkan sosok kartini sebagai gadis pingitan yang terkekang oleh feodalisme pada zamannya.
Kondisi sosial yang berkembang di Indonesia pada abad 17-an, membentuk pola pikir dari masyarakat, termasuk golongan bangsawan. Pergolakan batin yang dialami Kartini sejak ia remaja, membuatnya melakukan penolakan terhadap peraturan-peraturan yang menurutnya tak masuk di akal. Penolakan itu ia tuliskan melalui surat-suratnya. Kelak dari surat tersebut, Kartini berhasil melawan kejumudan zaman.