REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa waktu terakhir, istilah Zoom fatigue atau kelelahan karena melakukan telekonferensi melalui Zoom dilakukan setiap hari dan tak putus-putus, mulai mencuat di tengah masyarakat. Pekerja di masa pandemi banyak yang mengharuskan bekerja dari rumah dan memanfaatkan layanan video meeting tersebut.
Psikiater Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr. Gina Anindyajati, SpKJ, melalui surelnya, ditulis pada Rabu (21/4), mengatakan Zoom fatigue dapat terjadi karena ada kelelahan fisik akibat menghadap layar yang berlangsung lama. Kelelahan itu ditambah dengan kehabisan energi mental untuk selalu fokus pada pertemuan daring yang diadakan.
"Zoom fatigue adalah kelelahan fisik dan mental yang timbul akibat paparan dengan pertemuan daring yang lama tanpa jeda. Zoom fatigue bisa berkontribusi pada terjadinya burn out yang dialami pekerja," kata dr. Gina.
Ada sejumlah faktor yang bisa membuat seseorang merasakan Zoom fatigue. Mulai dari lama durasi dan jarak menghadap layar komputer, tidak adanya jeda di antara bekerja dan istirahat, hingga kendala teknis seperti sinyal yang terputus-putus.
"Saat kita menatap layar untuk durasi yang lama, mata merasa lelah. Sehingga rekomendasi dari dokter adalah memandang jauh (6 meter) setiap 20 menit, sementara tidak semua orang yang bekerja jarak jauh punya fasilitas untuk mengalihkan pandangannya. Akibatnya, mata dipaksa untuk melihat lama ke layar tanpa bisa refresh," kata dr. Gina.
"Selain itu, pertemuan yang dikerjakan back to back tidak memberi kesempatan pada orang untuk jeda, bahkan ke toilet atau bergerak. Bayangkan kalau kita rapat di kantor, antara satu jadwal dengan jadwal yang lain, kita bisa ke toilet terlebih dulu atau naik tangga atau naik lift," imbuhnya.
Menurut dr. Gina, jeda sejenak itu penting untuk mengembalikan rasa segar, sementara pada pertemuan daring benar-benar langsung pindah ruangan setelah satu pertemuan selesai. Selanjutnya, rasa lelah juga dikontribusikan oleh fokus yang dipaksakan, belum lagi ditambah dengan kendala sinyal atau teknologi yang membuat orang harus bolak balik melakukan pengecekan.
"Selain itu, pertemuan daring juga membuat interaksi lebih terbatas karena tidak ada waktu untuk chit chat yang bisa dilakukan saat pertemuan tatap muka," jelas dia.
"Belum lagi pertemuan daring yang dianggap dapat dilakukan dari mana saja, memaksa seseorang untuk mengikuti pertemuan multipel, dan tidak mengenal jam kerja. Tentu secara tidak langsung ini menambah beban pekerjaan dan bisa membuat lelah," tambah dr. Gina.
Lebih lanjut, ia mengatakan hubungan antara pekerjaan dan kesehatan mental sangat dekat.
Selain stres terkait pekerjaan yang biasa, pandemi telah menyebabkan kesehatan mental hampir semua orang menurun. Namun, kebanyakan dari orang diharapkan terus bekerja seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Pandemi telah mempengaruhi banyak kehidupan. Wajar jika interaksi kerja juga terpengaruh.
Tanda-tanda kelelahan tradisional termasuk perasaan apatis dan umumnya kelelahan, dan penurunan kinerja kerja. "Pekerjaan dan kesehatan mental saling berkaitan, karena orang yang mentalnya sehat akan bisa mengerjakan pekerjaannya dengan optimal, produktif, serta berkontribusi untuk lingkungannya," jelas dr. Gina.
"Pekerjaan yang melebihi kapasitas seseorang dapat mengancam kesehatan jiwa, sehingga berisiko menimbulkan masalah bahkan gangguan jiwa. Akan tetapi, pekerjaan juga bisa menjadi faktor protektif yang meningkatkan kesejahteraan mental seseorang," imbuhnya.