REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Secara rahasia, militer Indonesia mengirimkan personel untuk belajar mengawaki kapal selam pada 1958. Dikirim secara rahasia, dan dicari yang potongan tubuhnya (maaf) pendek-pendek, kurang dari 163 sentimeter (cm).
Jadi tidak seperti potongan postur umumnya tentara. Malah lebih mirip (sekali lagi maaf) buruh atau kuli kapal. Tapi itu khusus untuk kru kapal selam saja. Karena terbatasnya ruangan kapal, justru yang kurang tinggi, lebih lincah.
Personel Angkatan Laut menyamar untuk bisa sampai Polandia. Jangan sampai diketahui Amerika Serikat, Belanda, Inggris, dan negara-negara Barat lainnya. Menyamar sebagai sipil, personel TNI AL berangkat dengan kapal charter Hongkong menuju Rijeka, Yugoslavia.
Keseluruhan perjalanan memakan waktu kurang lebih satu bulan melalui Colombo (Sri Lanka), Djibouti, dan Port Said (Terusan Suez). Sampai di Rijeka perjalanan dilanjutkan dengan kereta selama tiga hari ke Gdynia (Polandia) melalui Budapest (Hungaria), dan Praha (Cekoslovakia).
"Setelah menyelesaikan pendidikan kapal selam sekitar satu tahun di Gdynia, saya ditempatkan di Kapal Selam RI Nanggala. Inilah salah satu kapal selam pertama yang dimiliki Negara Republik Indonesia. Saya sebagai perwira persenjataan dan torpedo," kata Laksamana Muda TNI (Purn) Handogo (90 tahun), akhir Maret 2021 lalu.
Ia merupakan perwira TNI yang pertama belajar ilmu kapal selam sejak Indonesia merdeka. Lulusan Institut Angkatan Laut (IAL), sekarang Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1956 ini, menjadi saksi sejarah kapal selam Indonesia.
Orang Indonesia pertama yang mengawaki kapal selam adalah Subyakto. Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) kedua setelah Laksamana Mas Pardi. "Cita-cita saya sebagai komandan kapal selam. Eh, tahunya malah bablas jadi KSAL," kata Laksamana TNI (Purn) Subyakto.
Ia ikut menjadi kru kapal selam Belanda pada saat Perang Dunia Kedua, sebelum Indonesia merdeka. Nanggala dan Cakra adalah nama kapal selam pertama Indonesia. Cikal bakal kapal-kapal selam lainnya. Setahun kemudian (tahun 1960), bersama sekitar 250 personel TNI AL, ia berangkat lagi secara rahasia ke Vladivostok, Uni Soviet untuk belajar mengawaki empat kapal selam baru.
Di Tanah Air, Subyakto menjadi orang kedua di Kapal Selam Tri Sula. Ketika kapal selam masuk lautan Pasifik, diikuti pesawat pengintai Amerika Serikat. Begitu memasuki lautan Indonesia, Atase Pertahanan Amerika Serikat protes. Markas Besar Angkatan Laut (Mabesal) tidak mengakui sebagai kapal selam Indonesia.
Amerika gentar, karena kapal selam itu berbendera Uni Soviet, musuh utamanya. Pada akhir 1962, armada Angkatan Laut bersama-sama komponen Angkatan Bersenjata lainnya bersiap-siap menyerbu, mendarat, dan merebut kembali Irian Barat dari tangan tentara Belanda.
Ratusan kapal armada berikut puluhan batalyon pasukan pendarat KKO/Marinir dan RPKAD/Kopassus serta Caduad/Kostrad dipersiapkan dalam rangka operasi yang diberi nama Jaya Wijaya. Kapal-kapal atas air berkumpul di Teluk Bangkalan dan di bagian utara Pulau Peleng, Sulawesl Tengah.
Sedangkan kapal-kapal selam dan kapal induk kapal selam di Teluk GaleIa, timur laut Pulau Halmahera. Sebelum penyerbuan dan pendaratan ke Irian Barat dilaksanakan, keempat kapal selam diperintahkan melakukan silent landing 4 regu pasukan komando (satu kapal selam membawa satu regu pasukan komando) di pantai utara Irian Barat.
One way ticket. Hanya untuk satu kali tujuan. Tidak ada cerita untuk pulang. Prajurit TNI bertugas untuk mati merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Untuk Kapal Selam Rl Trisula, titik silent landing ditetapkan di Pantai Tanah Merah, di sebelah barat Jayapura.
Dalam pelayaran kembali dari tugas tersebut, di perairan timur laut Kepulauan Biak, Kapal Selam RI yang sedang berlayar di atas air dipergoki pesawat terbang antikapal selam jenis Neptune dan destroyer Belanda pada jarak kurang lebih tujuh mil laut (13 km) arah haluan.
Kapal Selam RI menyelam dengan cepat pada kedalaman 170-190 meter dari permukaan. Ketika akhirnya berada di atas Kapal Selam RI, kapal destroyer Belanda menembakkan bom-bom laut yang dapat terdeteksi melalui sonar.
Tidak satu pun bom-bom tersebut mengguncang apalagi merusak kapal selam karena sudah ada pada kedalaman kurang lebih 180 meter. Akhirnya keempat kapal selam termasuk Nanggala, dapat kembali dengan selamat ke titik kumpul di Teluk Galela, Halmahera.
Pasukan komando TNI AL dan TNI AD (Kopassus dan Kostrad) berhasil menyusup ke Irian Jaya. Betapa heroik, tentara-tentara kita. Tugas untuk mati demi negara dan bangsa. Mengusir Belanda dari Irian Barat, sekarang disebut Papua.
Pada 1964 semasa konfrontasi dengan Malaysia atau lebih dikenal dengan Dwikora. Mayor Laut (Pelaut) Handogo selaku Komandan Kapal Selam Rl Hendrajala bersama Kapal Selam RI Nagarangsang mendapat perintah untuk menyekat Selat Karimata.
Tidak tanggung-tanggung, mengadang lintasan kapal induk Inggris yang akan berlayar dari Singapura ke Australia. Akhirnya kapal induk tersebut urung lewat Selat Karimata. Kapal selam RI Hendrajala kemudian bertugas di perairan Riau dan Natuna.
Operasi senyap untuk mengadang penyusup masuk ke wilayah laut Indonesia. Tidak banyak yang tahu. Tidak ada gembar-gembor. Tugas bukan pencitraan. Rela mati untuk bangsa dan negara, bukan demi meraih jabatan.
Pada 1966, ketika perang saudara India dengan Pakistan, kapal selam Indonesia juga mengadang kapal-kapal India. Unsur tempur laut GT-X terdiri dari dua kapal selam (Nagarangsang dan Bramastra) dan dua kapal cepat roket ditempatkan di pelabuhan Karachi, Pakistan Barat.
Serta empat kapal cepat torpedo dan beberapa tank amphibi KKO/Marinir ditempatkan di Chittagong, Pakistan Timur (sekarang Bangladesh). Tidak menyangka, satu bulan setelah wawancara dengan Laksamana Muda (Purn) Handogo, Nanggala-402, nama yang sama dengan nama kapal selam pertama milik Indonesia itu meninggalkan kita semua.
Betul-betul one way ticket. Sekali jalan dan tidak kembali ke pangkalan Angkatan Laut. Kalian kembali ke pangkalan Illahi Robbi, Sang Pencipta. Hilangnya Kapal Selam KRI Nanggala-402 adalah duka bagi kita bangsa Indonesia.
Sesungguhnya, para prajurit pemberani itu tidak meninggal di dasar laut. Mereka tetap hidup dalam sanubari kita untuk menjaga kedaulatan negeri. Salam hormat untuk para anumerta kusuma bangsa. Kalian gugur dan sahid sebagai pahlawan bangsa di saat bulan suci Ramadhan.
Bulan penuh magfiroh, pengampunan Illahi. Ya Allah, tempatkan mereka di surga-Mu. Seperti janji-Mu pada hamba yang tulus ikhlas membela kehormatan.