REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Salah satu narasumber yang tercantum di Kamus Sejarah Indonesia (KSI) Jilid I, Abdurakhman menjelaskan mengapa ada banyak polemik dalam penyusunan draf yang memuat berbagai sejarah Indonesia itu.
Menurut dia, keanehan penyusunan kamus sudah muncul saat diputuskan ada dua jilid buku sejarah berdasarkan rentang waktu.
‘’Buku ini awalnya dibuat dua jilid dari 1900-1950 dan 1950 hingga reformasi. Ini memang agak aneh, karena ada banyak aspek berbeda,’’ ujar dia dalam webinar daring, Selasa (27/4).
Dia menambahkan, narasumber yang tidak terlibat dalam penyusunan itu awalnya juga tidak tercantum dalam struktur yang ada. Namun diakuinya, malah dicantumkan di akhir percetakan, padahal tidak masuk dalam konteks pembukuan.
Tak sampai di sana, dalam setiap tokoh hingga peristiwa yang disusun, pihak penyusun dikatakannya telah menandai setiap laman dengan bintang. Mulai dari bintang satu, dua hingga lima tergantung peran dan pengaruhnya untuk menjadi tolak ukur berapa banyak yang bisa ditulis bagi laman tersebut.
“Dan di antara lema, masing-masing penulis dapat 200 lema entri dari ribuan lema. Mereka diminta melengkapi itu. Dan ini menurut saya awal masalahnya,’’ ucap dia.
Dia mengaku, materi sebanyak dan sepenting itu, harus dikejar target dengan waktu yang sangat singkat. Padahal, materi-materi yang membawa arah sejarah tersebut dia klaim seharusnya bisa dimaksimalkan.
Lanjut dia, hasil yang belum selesai itu juga terpaksa harus dicetak karena kepentingan proyek, meski belum dipublikasikan. Alasan-alasan tersebut lah menurut Abdurakhman awal letak kesalahan pihak direktorat yang kini sudah tak beroperasi kembali.
Pada Selasa (20/4) lalu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hilmar Farid, mengatakan buku Kamus Sejarah Indonesia yang tidak memuat tokoh Pendiri NU KH Hasyim Asyhari sudah ditarik dari laman Rumah Belajar. Selain itu, buku-buku yang terkait sejarah modern juga telah ditarik untuk direview kembali.
Dia mengatakan, penarikan buku ini dilakukan karena pihaknya ingin memastikan permasalahan kekurangan yang ada di buku sejarah bisa diselesaikan. "Kita tidak mau sama sekali ada problem seperti ini," kata Hilmar.
Hilmar juga menanggapi bahwa banyak pihak yang mempertanyakan resmi atau tidaknya buku tersebut. Dia menegaskan, buku tersebut tidak resmi diterbitkan. Menurutnya, yang menjadi masalah adalah buku tersebut sudah dimuat di Rumah Belajar meskipun sebenarnya pengerjaannya belum selesai.