Oleh : Agung Sasongko, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Memasuki 10 hari terakhir Ramadhan, pergeseran kerumunan mulai terjadi. Masjid atau mushola yang padat, bergeser ke pusat perbelanjaan. Hilalnya mulai terlihat dengan pusat perbelanjaaan yang ramai dipadati pengunjung. Teranyar, video keramaian Pasar Tanah Abang jadi perbincangan di lini masa media sosial.
Ini menjadi bukti, minimnya kedisplinan masyarakat untuk secara konsisten menjaga protokol kesehatan selama pandemi. Padahal protokol kesehatan bukan sekadar mengenakan masker saja tetapi juga pentingnya untuk menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disiplin adalah ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan. Sementara, Ali Trigiyatno, Dosen Pascasarjana IAIN Pekalongan, Waket PDM Batang dalam tulisannya mengungkap, disiplin juga berarti konsisten dan istiqamah dalam kebaikan dan kebenaran. Tidak mudah berubah-ubah atau digoyahkan sikap dan pendiriannya.
“Sebagaimana diperintahkan Allah SWT. Artinya : “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas”. (Huud: 112),” tulisnya.
Apa yang terjadi di pusat perbelanjaan dan jalan raya menjadi cermin prilaku berlebihan yang melampaui batas. Kedisplinan masing-masing pribadi sejatinya dapat mencegah perilaku berlebihan tersebut. Percuma, sosialisasi dilakukan ternyata tidak ada displin dalam penerapan.
Kita harus belajar dari melonjaknya kasus covid-19 di India. Awalnya, diyakini penanganan covid-19 di negara itu telah terkendali. Waktu itu angka kasus yang tercatat baru 11 ribu per hari. Di saat bersamaan, India juga memiliki kemampuan memproduksi vaksin.
Efeknya, aktivitas publik melonggar. Perayaan keagamaan diperbolehkan secara massal. Masker mulai ditinggalkan, apalagi jarak fisik. Hingga akhirnya pada April 2021, dunia terkejut dan tersentak ketika terjadi lonjakan kasus baru di negara berpenduduk 1,4 miliar itu.
Hal yang terjadi di India ini mungkin saja terjadi di Indonesia. Jelang Hari Raya Idul Fitri, jika tidak menahan diri maka lonjakan kasus sangat mungkin terjadi. Mulai dari pelanggaran larangan mudik hingga mengabaikan protokol kesehatan.
Kebijakan melarang mudik sebenarnya sudah sangat tepat. Namun kebijakan ini harus juga diikuti dengan pembatasan aktivitas di pusat perbelanjaan. Gandeng e-commerce untuk lebih banyak dilakukan transaksi melalui online atau sebagai jalan tengah manfaatkan tren event hybrid yang memadukan aktivitas belanja online dan offline.
Sudah cukup kita mengakali aturan selayaknya biang kerok seperti kasus larangan mudik. Ketika pemerintah larang mudik pada 6 Mei hingga 17 Mei, maka diakali dengan mudik lebih awal. Lucunya lagi, pemerintah daerah tujuan mudik menyiapkan lokasi karantina bagi pemudik nekat. Artinya, ada restu dalam tanda kutip jika memang warganya nekat mudik.
Sudah setahun lebih kita hancur lebur karena corona. Jika, displin saja tidak bisa. Mau berapa lama lagi kita terjebak dalam pandemi. Apa tidak iri dengan warga Wuhan yang kini sudah mulai terbebas dari covid-19, atau lebih memilih seperti India yang “semau gue” akhirnya mengalami gelombang kedua covid.
Ramadhan tahun ini merupakan yang kedua di masa pandemi. Sudah dua ramadhan harusnya kedisplinan semakin terasah, karena puasa mengajarkan kesabaran dan displin. Kalau dua hal ini tidak ada, tentu ada yang salah dengan berpuasa kita.