REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Salah satu kebiasaan masyarakat pada bulan Ramadhan yakni mempersiapkan buka puasa dengan menu dan porsi berlebihan. Seringkali, porsi yang berlebihan tersebut tidak habis dan justru terbuang hingga menjadi food waste atau sampah makanan yang turut menyebabkan kerusakan lingkungan.
Pola tersebut tidak hanya terjadi saat Ramadhan, meski jumlahnya tidak sebanyak saat bulan puasa. Bahkan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai penghasil sampah makanan terbesar di dunia.
Dosen Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dian Rachmawati Afandi, menjelaskan, food waste merupakan semua bagian bahan pangan yang masih dapat dimakan, tapi sengaja dibuang. Berbeda halnya dengan food loss atau makanan dan bahan pangan yang terbuang karena berbagai penyebab, dimulai dari lahan pertanian sampai siap dikonsumsi
Dian menyebut ada beberapa pola tindakan yang dapat menghasilkan sampah makanan. Pertama, menyisakan makanan di piring karena kelebihan porsi. Bisa juga, ada beberapa komponen makanan yang tidak disukai sehingga disisihkan.
"Hal ini juga sering terjadi di restoran. Kuat membayar makan di restoran, tapi tidak bisa menghabiskan. Lalu membeli terlalu banyak makanan atau bahan makanan, sehingga sebagian tidak termakan," kata Dian seperti tertulis dalam siaran pers, Selasa (4/5).
Penyebab ketiga, membeli terlalu banyak makanan atau bahan makanan. Oleh karena menumpuk dan tidak memperhatikan tanggal kedaluwarsa, konsumen tidak segera mengonsumsi makanan tersebut sebelum kedaluwarsa. Akibatnya, makanan tidak terkonsumsi dan terbuang begitu saja.
Dian menyinggung perbedaan keterangan kedaluwarsa (expired) dan baik digunakan sebelum (best before) pada kemasan makanan yang belum dipahami sebagian masyarakat. Jika pada kemasan makanan tertulis tanggal expired, maka makanan tersebut tidak boleh dikonsumsi setelah tanggal yang tertera.
"Kalau best before, artinya makanan bisa dikonsumsi walau terlewat tanggalnya. Namun, secara sensoris, dari segi rasa memang kurang maksimal. Misalnya, kalau dikonsumsi sebelum tanggal yang tertera, rasa ayamnya kuat, tapi setelahnya jadi berkurang. Jadi, jangan membuang makanan yang terlewat best before terlebih dulu agar tidak jadi food waste," jelas Dian.
Penyebab keempat, sampah makanan dari pasar retail yang membuang buah dan sayuran dengan alasan tampilannya sudah tidak bagus. Hal serupa juga dapat terjadi di toko atau supermarket. Selain itu, stok toko yang tidak terjual juga dapat menjadi penyebab sampah makanan kelima.
Keenam, proses pengolahan bahan pangan yang menyisakan edible. Misalnya, saat mengupas kulit timun yang juga mengurangi sedikit daging timunnya. Kulit timun tersebut akan dibuang begitu saja, padahal masih dapat dimakan.
Dian memaparkan, cara-cara yang dapat dilakukan untuk mencegah adanya sampah makanan. Pertama, membuat rencana menu makanan sebelum berbelanja sehingga tidak membeli terlalu banyak bahan makanan. Kedua, membuat menu makanan berdasarkan persediaan bahan makanan yang ada di rumah dengan prinsip first in first out (FIFO). "Dengan demikian, bahan yang lebih dahulu dibeli tidak akan terlupakan untuk diolah," ucapnya.
Cara ketiga, membeli bahan yang dapat segera dikonsumsi dan dapat disimpan di freezer dalam waktu singkat. Prinsip FIFO juga dapat diterapkan dalam penyimpanan tersebut. Keempat, menyimpan bahan makanan dengan baik untuk menjaga daya tahannya. Kelima, meletakkan bahan pangan yang mudah rusak di tempat yang terlihat.
"Ada satu bentuk pencegahan sederhana yang sering kali luput untuk diterapkan. Yaitu ambil makan secukupnya dan sesuaikan porsi kita. Khususnya di bulan ramadan ini, jangan sampai buka puasa yang berlebih justru menambah timbunan sampah makanan dan merusak lingkungan kita," pungkasnya.