REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demi mempertahankan kelestarian bumi, cepat atau lambat ada penyesuaian bahan makanan yang harus dilakukan manusia. Penggunaan bahan makanan dari serangga kini dipertimbangkan karena tidak mengganggu keseimbangan alam.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB telah mendesak agar semua orang mulai memanfaatkan sumber daya tersebut. Mengingat masalah pasokan pangan, opsi serangga dianggap pilihan yang cukup berkelanjutan.
Pasalnya, pemanfaatan serangga sebagai bahan makanan menjanjikan kebaikan bagi manusia, satwa, maupun lingkungan. Leah Bessa dari perusahaan rintisan Afrika Selatan Gourmet Grubb sepakat serangga bisa menjadi "makanan masa depan".
Sebagai gambaran, jangkrik mengeluarkan kurang dari 0,1 persen emisi rumah kaca dibandingkan sapi untuk menghasilkan protein berjumlah sama. Butuh 112 liter air untuk menghasilkan satu gram daging sapi, tetapi hanya kurang dari 23 liter untuk satu gram protein serangga.
Meski belum sepopuler daging alternatif, Bessa merasa siapapun yang peduli terhadap ketahanan pangan perlu terbuka pada solusi itu. Walau begitu, tidak bisa juga mengharapkan satu sumber makanan untuk menyelesaikan masalah.
Menurut Bessa, masalah sistem pertanian dunia saat ini adalah tidak ada cukup keanekaragaman untuk memenuhi iklim dan lanskap berbeda. Hal yang hebat tentang serangga, dapat dibudidayakan di mana saja, di lingkungan apapun.
"Mereka tidak merusak tanah, Anda dapat mengembangkannya dengan produk sampingan dari industri makanan dan mereka penuh dengan nutrisi," ungkapnya, dikutip dari laman The Guardian, Selasa (11/5).
Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa gerakan pangan nabati membutuhkan puluhan tahun untuk sampai ke posisi sekarang. Jika serangga dapat mencapai posisi serupa, itu akan menjadi sebuah kemenangan besar.
Sementara konsumen barat tidak siap dengan serangga utuh, Bessa percaya mereka tidak selalu menolak inovasi. Produk Entomilk dari perusahaannya terbuat dari larva lalat tentara hitam yang kaya akan lemak dan mineral, termasuk kalsium.
Orang-orang mulai menjadi lebih sadar tentang manfaat makanan, tidak hanya bagi tubuh tetapi juga lingkungan. Pikiran mereka jauh lebih terbuka sehingga bersedia untuk mencoba apa yang mereka anggap kotor atau menjijikkan sebelumnya.
Menurut laporan oleh Barclays, pasar serangga yang dapat dimakan akan tumbuh menjadi 6,3 miliar dolar AS pada 2030. Sementara, penelitian oleh Sainsbury menemukan 42 persen konsumen Inggris bersedia mencoba serangga.
Menawarkan serangga dalam produk yang dikenal seperti kerupuk dan keripik tortilla adalah cara yang lebih mudah diterima. Itu mengatasi faktor "jijik". Bagi yang mencobanya akan sadar bahwa makanan itu enak dan bergizi.
Dokter Monica Ayieko yang berbasis di Universitas Jaramogi Oginga Odinga di Kenya juga terbuka terhadap potensi protein serangga. Menurut Ayieko, kasus kekurangan gizi dapat dicegah jika sumber protein serangga lebih banyak digunakan.
Ayieko kini mengabdikan kariernya untuk meneliti tradisi lokal menyantap serangga di sejumlah negara dan mengembangkan peternakan serangga sebagai jalan menuju ketahanan pangan. Memasukkannya di menu sekolah akan menjadi langkah besar.
Kampus Ayieko memiliki 120 mahasiswa tingkat magister dan doktoral yang mempelajari pertanian berkelanjutan terkait serangga untuk makanan. Meski hasilnya menggembirakan, secara meluas serangga masih dilihat sebagai makanan orang miskin.
Beberapa orang di daerah pedesaan yang tadinya aktif mengumpulkan serangga untuk diolah jadi makanan sekarang beralih membeli ayam dan ikan karena malu. Perusakan habitat juga menyebabkan semakin sedikit serangga yang terkumpul.
Salah satu jenis semut favorit Ayieko, Carebara vidua yang dianggap makanan lezat di komunitasnya, sudah tidak dapat ditemukan lagi. Itu karena penebangan pohon dan pembangunan jalan yang dilakukan manusia.
"Jika tidak dapat menemukan cara pasti untuk mempertahankan kelangsungan serangga, manusia sedang menuju kepunahan. Tapi jika bisa, kita aman. Kita akan menjaga kelangsungan mereka dan mereka pun demikian," kata Ayieko.