Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Lebih dari sepekan terakhir Israel unjuk kekuatan militernya terhadap rakyat Palestina, khususnya mereka yang bermukim di wilayah Gaza. Aksi teror yang dilancarkan Israel di Palestina kali ini memang bukan yang pertama kali dilakukan.
Namun, dalam kondisi dunia sedang dibekap pandemi Covid-19, naiknya eskalasi kekerasan di Palestina tentunya bakal berdampak juga pada prospek pemulihan ekonomi di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Mengapa proses pemulihan ekonomi Indonesia bisa terganggu? Jika teror yang terjadi di Palestina berlanjut menjadi perang total, negara-negara di Timur Tengah akan ikut terseret dalam konflik Israel-Palestina.
Selama ini negara-negara di kawasan Timur Tengah, seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, dan Lebanon menjadi pendonor dan rumah bagi jutaan warga Palestina yang melarikan diri atau dipaksa pergi dari rumah mereka oleh Israel.
Arab Saudi masuk dalam daftar lima pendonor terbesar pengungsi Palestina. Kerajaan Arab Saudi telah memberikan sumbangan melalui Saudi Fund for Development, termasuk hibah sebesar 67 juta dolar AS atau setara Rp 951,4 miliar (kurs Rp 14.200 per dolar AS) untuk pelaksanaan proyek-proyek di Gaza, Tepi Barat, dan Yordania.
Sementara itu, Yordania dan Lebanon saat ini menjadi rumah bagi para pengungsi Palestina. Menurut data Badan PBB untuk pengungsi Palestina, UN Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA), sekitar 5,6 juta pengungsi Palestina dan keturunannya hingga kini mendiami kamp-kamp pengungsian di Suriah, Lebanon, Yordania, Tepi Barat serta Jalur Gaza.
Jika saling adu roket dan rudal antara Palestina dan Israel meluas menjadi perang yang sesungguhnya, maka bakal ada gelombang baru pengungsi dari Palestina ke negara-negara Timur Tengah.
Bagi Indonesia, posisi Arab Saudi, Yordania, Mesir, dan Lebanon adalah pasar yang potensial untuk ekspor produk otomotif, elektronik, hingga makanan dan minuman. Nilai perdagangan total ke empat negara tersebut menembus sekitar 2 miliar dolar AS dari periode Januari-Maret 2021.
Sementara, Palestina merupakan mitra dagang Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama lima tahun terakhir (periode 2016-2020) neraca perdagangan Indonesia ke Palestina surplus 7,6 juta dolar AS.
Nilai ekspor Indonesia ke Palestina sebesar 11,96 juta dolar AS. Sedangkan, impornya sebesar 4,36 juta dolar AS.
Dalam konflik kali ini sikap dua negara yang pernah menjadi donatur terbesar pengungsi Palestina sudah jelas. Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Jerman dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap kebijakan yang diambil Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu ke warga Gaza.
Selain sikap politik luar negeri yang tegas berpihak ke Israel, AS juga mendukung aksi aneksasi Israel terhadap Palestina dengan peralatan tempur dan menyetop dana bantuan untuk pengungsi Palestina melalui UNRWA.
Bagaimana dengan negara-negara lain? Meski China beberapa hari terakhir gencar menyuarakan kecaman terhadap tindakan Israel, hingga kini belum ada tindakan konkret yang dilakukan negara ekonomi terbesar ini.
Hubungan ekonomi China dengan Israel memang terbilang harmonis. Israel adalah negara di Timur Tengah pertama yang diakui China sebagai pemerintahan yang sah. Investasi China di Israel berkembang pesat hingga mencakup hampir sebagian besar sektor ekonomi.
Sementara, negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), termasuk Indonesia, belum mengambil sikap tegas. Salah satu bentuk ketegasan yang bisa dilakukan adalah dengan memboikot produk Israel. Mungkinkah hal tersebut dilakukan?
Meski tidak memiliki hubungan diplomatik secara resmi, faktanya Indonesia memiliki hubungan perdagangan dengan Israel. Hal ini terbukti melalui data ekspor-impor antara Indonesia dan Israel yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS).
Dalam lima tahun terakhir saja, nilai barang yang diimpor dari Israel ke Indonesia mencapai 345,45 juta dolar AS atau setara Rp 4,9 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS) sepanjang 2016-2020. Ada 45 kategori produk yang dibeli Indonesia dari Israel.
Tak hanya rutin mengimpor, Indonesia juga mengekspor barang ke Israel. Indonesia mengekspor kurang lebih 59 kelompok produk ke Israel mulai dari komoditas pertanian, peternakan, pertambangan, hingga barang-barang hasil industri manufaktur, seperti mesin.
Pada 2020, total nilai ekspor Indonesia ke Israel adalah 157,53 juta dolar AS. Sementara, nilai impor Indonesia dari Israel sebesar 56,53 juta dolar AS. Ini berarti Indonesia masih untung 100,99 juta dolar AS atau setara Rp 1,434 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS) dalam urusan perdagangan dengan Israel sepanjang tahun lalu.
Dengan surplusnya neraca perdagangan dengan Israel ini, apakah Indonesia akan rela kehilangan devisa hasil ekspor jika gerakan boikot produk Israel jadi dijalankan?