REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai dikeluarkannya siswa berinisial MS dari sekolah karena konten TikTok soal Palestina bukanlah sanksi yang mendidik. Sebab, MS sebagai peserta didik menjadi kehilangan hak atas pendidikannya padahal sudah berada di jenjang akhir dan menunggu lulus.
"Kalaupun tidak berada di kelas akhir, dipastikan MS akan sulit diterima di sekolah manapun setelah kasusnya viral, artinya kemungkinan besar MS putus sekolah," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, Kamis (20/5).
KPAI mendorong dinas pendidikan untuk memenuhi hak atas pendidikan MS. KPAI khawatir, setelah kasus tersebut viral, maka banyak sekolah yang akan menolak mutasi MS, padahal masa depan siswa tersebut masih panjang.
Berdasarkan hasil koordinasi KPAI dengan Dinas PPPA Provinsi Bengkulu, siswa yang bersangkutan sudah tidak berusia anak yakni 19 tahun. Walaupun demikian, KPAI berkonsentrasi dengan pemenuhan hak atas pendidikannya karena status MS sebagai pelajar.
"Sanksi terhadap MS seharusnya bukan dikeluarkan, apalagi MS sudah meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan menyesali perbuatannya. Jadi, seharusnya MS diberi kesempatan memperbaiki diri, karena masa depannya masih panjang," kata Retno.
Selain itu, KPAI juga menilai, MS mesti mendapatkan pembinaan konseling agar tidak mengulangi perbuatannya. Situasi MS juga menyebabkan ia memiliki masalah psikologis seperti takut bertemu orang lain. Terkait hal ini, KPAI mendorong rehabilitasi psikologis terhadap MS.
Lebih lanjut, Retno mengatakan kasus ini harus menjadi pembelajaran bagi para orang tua. KPAI mendorong agar para orang tua memberikan edukasi dan mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan media sosial.