REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR Mulyanto secara tegas menolak gagasan peleburan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang baru saja dibentuk pemerintah. Pasalnya, peleburan itu dapat menghambat kegiatan pengembangan teknologi nuklir di Indonesia.
"Saya terus terang menolak gagasan itu. Kami ingin Batan mempunyai fungsi penyelenggaraan ke tenaganuklir, sehingga Batan harus menjadi lembaga yang mandiri seperti sekarang ini," kata Mulyanto dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (21/5).
Anggota Fraksi PKS DPR tersebut menjelaskan, perkembangan nuklir erat kaitannya dengan kondisi sosial dan politik suatu bangsa. Di Indonesia, sambung dia, teknologi nuklir bukan sekadar untuk kepentingan riset, tetapi untuk kepentingan lebih luas, seperti energi hingga agrikultur.
Merujuk amanat konsideran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, disebutkan ranah itu menyangkut kehidupan dan keselamatan banyak orang. Sehingga kenukliran harus dikuasai oleh negara yang pemanfaatannya bagi pembangunan nasional."
Ketenaganukliran bukanlah wilayah privat tapi ia wilayah publik sehingga penanganan negara sangat khusus," kata Mulyono.
Batan, lanjut dia, bukan dirancang sekedar menjadi lembaga riset nuklir, tetapi sebagai badan yang menjalankan urusan pemerintah dalam menyelenggarakan ketenaganukliran. Apabila menjadikan Batan sebagai organisasi pelaksana penelitian dan pengembangan (liitbang), kata dia, maka sama saja mengerdilkan Batan.
"Dari struktur organisasinya saja Batan dianggap fungsional di tubuh BRIN. Bagi kami yang terbiasa dengan birokrasi tidak mungkin menjalankan kelembagaan Batan yang besar itu di dalam sebuah Organisasi Pelaksana Litbang (OPL) yang kecil," ujar Mulyanto.