Sabtu 22 May 2021 02:31 WIB

Musibah KRI Nanggala 402 dan Mafia Alutsista

Anggaran jumbo pengadaan alutsista menggoda broker dan mafia alutsista.

Foto handout yang disediakan oleh TNI AL dan diambil oleh kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh (ROV) menunjukkan kapal selam TNI AL KRI Nanggala yang tenggelam, Selasa (18/5).
Foto: EPA-EFE/INDONESIAN NAVY
Foto handout yang disediakan oleh TNI AL dan diambil oleh kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh (ROV) menunjukkan kapal selam TNI AL KRI Nanggala yang tenggelam, Selasa (18/5).

Oleh : Hiru Muhammad, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia baru saja memiliki lima kapal selam yang memperkuat alutsista bawah air. Namun, belum lama berselang, kegembiraan itu harus berganti duka setelah KRI Nanggala 402 dinyatakan hilang dan tenggelam pada 21 April lalu. Kabar buruk ini tentunya sangat mengejutkan bangsa Indonesia yang sedang menggebu memacu alutsista di ketiga matranya, terutama laut dan udara guna memenuhi minimum essential force (MEF) yang telah ditetapkan.

Musibah KRI Nanggala 402  di perairan Bali bukan semata suatu musibah yang tidak bisa dihindari, melainkan kembali membuka mata publik terkait pengadaan alutsista yang menemui jalan berliku di tengah upaya kemandirian industri pertahanan bangsa ini.  Berbagai pandangan muncul di masyarakat, terkait prosedur perawatan kapal yang telah berusia lanjut, upaya peremajaan armada baru yang sampai kini masih menuai pro dan kontra terkait masalah teknis dan biaya. Bahkan di tengah pembahasan soal upaya pengangkatan badan kapal selam yang belum tuntas tersebut muncul dugaan mafia alutsista yang selama ini belum sepenuhnya terungkap. Padahal praktek mafia ini sudah berlangsung cukup lama.

Hal itu cukup beralasan karena anggaran jumbo Rp 136,995 triliun tahun 2021 yang dimiliki kementerian pertahanan untuk pengadaan alutsista modern tersebut merupakan lahah subur bagi para broker maupun mafia yang mencoba mengeruk keuntungan pribadi. Harga perlengkapan militer yang dibidikpun meroket tajam di atas harga pasaran yang ada. Hal itu masih ditambah dengan kebiasaan dalam penjualan senjata canggih tidak ada patokan harga resmi yang dikeluarkan produsen ke negara konsumen. Harga disesuaikan dengan spesifikasi kebutuhan konsumen yang berbeda di tiap negara meski jenisnya sama. Hal ini membuat harga sebuah alutsista bagi tiap negara tidak selalu sama.

Pengadaan alutsista yang tertutup alias tidak transparan, meski menggunakan anggaran negara juga menjadi penyebab adanya sejumlah oknum yang bermain di lahan basah ini. Meski menyangkut keamanan negara, namun proyek yang menggunakan uang rakyat sepantasnya diketahui publik, meski tidak seluruhnya.  Saat ini publik tidak mengetahui proses pengadaannya, siapa saja yang terlibat hingga efektifitas penggunaannya. Tentunya pihak yang terlibat dalam praktek mafia ini bukanlah satu orang, melainkan beberapa orang yang saling terkait satu dengan lainnya.

Karena itu, berbagai pihak baik pemerintah, KPK, masyarakat luas dan lembaga terkait perlu bersama mengawasi alokasi anggaran ini agar penggunaanya transparan dan dapat dipertanggung jawabkan dengan jelas. Termasuk menyeret siapapun pelaku yang mencoba mencari keuntungan pribadi ke meja hijau. Keberanian dan ketegasan pemerintah sangat ditunggu demi tegaknya supremasi hukum. Barangkali pengadaan melalui tender terbuka akan lebih baik guna mengurangi kecurigaan berbagai pihak dalam kasus ini.

Selain mafia, tekanan politik turut mempersulit transaksi penjualan alustista dari luar negeri. Sebagai contoh apabila membeli perlengkapan militer dari negara barat yang menggunakan teknologi dari AS, akan memaksa konsumen harus memperoleh persetujuan dari parlemen maupun pemerintah AS sebelum memboyong senjata yang dibidiknya. Hal ini membuat pengadaan senjata menjadi rumit dan menyita banyak waktu. Saat ini Indonesia sedang berupaya melirik ke Prancis, negara barat yang dinilai cukup mandiri dalam pengadaan altusista dan teknologi pendukungnya. Negara inipun juga tidak banyak mengaitkan penjualan perlengkapan militernya dengan aspek politik sehingga dinilai lebih aman bagi Indonesia.

Industri pertahanan kini menghadapi berbagai problematika seperti terbatasnya dukungan fiskal dari pemerintah, terbatasnya permintaan jangka panjang, terbatasnya sinergi dan penyelarasan antar BUMN, hingga minimnya biaya riset dan pengembangan. Membangun kemandirian industri strategis seperti alutsista, tidak cukup bermodal dana dan dukungan pemerintah semata. Melainkan juga tekad kuat dalam langkah bersama seirama, termasuk  membangun industri pendukung yang jumlahnya sangat banyak.

Industri pendukung tersebut berperan memasok komponen khususnya elektronika yang diperlukan bagi persenjataan modern. Apalagi dalam peperangan modern kemampuan perang elektronika menjadi garda terdepan yang memiliki andil besar memenangkan pertempuran, selain strategi yang tepat. Karena itu selain dukungan dana riset yang memadai, kesiapan fasilitas pabrik yang mampu memproduksi perlengkapan militer canggih hingga kemampuan sumber daya unggul sangat diperlukan dan menjadi syarat wajib bagi kemandirian industri alutsista.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement