Sabtu 29 May 2021 06:08 WIB

Presidential Threshold Mengebiri Daulat Rakyat

Presidential Threshold membatasi calon terbaik maju Pilpres 2024.

Red: Joko Sadewo
Suasana debat kelima Pilpres 2019
Foto:

Oleh : Tamsil Linrung, Anggota DPD RI

Sekilas masuk akal. Tapi bila dicermati, itu tak lebih akal-akalan politik semata. Konteksnya jelas bukan soal kuat atau lemahnya eksekutif versus legislatif, tetapi keseimbangan dan kesetimbangan peran. Menguatkan sistem presidensial tidak berbanding lurus dengan penguasaan eksekutif pada parlemen.

Koalisi penguasa yang tambun dan minim oposisi pada akhirnya mengundang penyalahgunaan kekuasaan. Check and balances sulit berjalan maksimal. Yang ada, dewan bisa-bisa semata menjadi tukang stempel dari kebijakan yang diusulkan pemerintah.

Kita punya banyak pengalaman yang menguatkan argumentasi itu. Sebutlah pengesahaan UU Omnibus Law Cipta Kerja usulan presiden. UU ini tentu mengingatkan kita pada proses legislasi yang dikebut dan  rapat DPR jelang tengah malam. Rakyat tumpah ruah ke jalan, tetapi itu seolah tak memiliki arti.

Dibanding manfaatnya, mudharat presidential threshold lebih dominan. Pertama, meski di atas kertas bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon, namun tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya, penerapan presidential threshold dalam pemilu yang lalu-lalu hanya sanggup memunculkan dua pasang calon.