REPUBLIKA.CO.ID, DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI, ANGGOTA DEWAN SYARIAH NASIONAL MUI
Assalamu’alaikum wr wb. Saya ingin menanyakan hukum jual beli mata uang asing atau trading forex secara daring. Transaksi yang terjadi adalah memperjualbelikan mata uang asing untuk meraih keuntungan yang didapat dari selisih harga jual dan harga beli. Apakah trading forex itu diperbolehkan seperti trading saham? Mohon penjelasan ustaz! -- Fadli, Jakarta
Wa’alaikumussalam wr wb.
Trading forex itu tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat. Sehingga, jual beli mata uang asing hanya diperbolehkan untuk kebutuhan tertentu saja seperti kegiatan ekspor-impor dan umroh. Kegiatan itu harus menukar rupiah ke mata uang asing melalui money changer dan sejenisnya. Sedangkan melakukan trading forex online itu jelas-jelas di luar wilayah yang dibolehkan.
Trading forex tidak diperbolehkan, kecuali karena lil hajah atau lid-darurah untuk memenuhi keperluan transaksi seperti di bank devisa dan ekspor-impor. Trading forex itu diharamkan oleh mayoritas ulama karena unsur spekulasi yang terjadi dalam transaksi. Jual beli mata uang tersebut diperjualbelikan secara daring untuk mendapatkan selisih tanpa ada underlying asset.
Hal ini didasarkan pada, pertama, larangan spekulasi dalam jual beli antarmata uang sebagaimana ditegaskan fatwa DSN MUI Nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf).
Fatwa itu menegaskan, “Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: (a) Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). (b) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). (c) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). (d) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.”
Kedua, merujuk pada maqashid atau target dari pembatasan tentang penukaran antarmata uang yang berbeda, bahwa yang dipertukarkan tersebut adalah alat tukar dan tidak boleh dijadikan komoditas (adatu tadawul).
Ketiga, sebagaimana keputusan Lembaga Fikih Rabithah Alam Islami menjelaskan tiga alasan diharamkannya trading forex, yaitu (a) karena ada unsur riba berupa penambahan dari kredit (rusum at-tabyit). (b) Transaksi tersebut tidak bisa dilakukan secara tunai, sehingga mengakibatkan riba nasiah. (c) Merugikan pasar dan ekonomi secara umum khususnya investor, karena sarat dengan spekulasi, memperbesar utang, dan banyaknya manipulasi (rekayasa).
Keempat, hadis Rasulullah SAW, “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah).
Sesungguhnya, substansi dan maksud (illat) emas yang ada dalam hadis Ubadah tersebut adalah alat pembayaran atau alat tukar, seperti rupiah. Sebagaimana ditegaskan ulama mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim.
Dalam Bidayah, Ibnu Rusyd mengutip, “’Illat larangan jual beli emas dan jual beli perak yang harus sama itu dalam satu klaster karena keberadaanya sebagai harga dan alat pembayaran. ‘Illat tersebut dikenal oleh mereka dengan istilah qashirah.
Imam Syafi’i sependapat dengan pendapat Imam Malik bahwa ‘illat larangan jual beli emas dan jual beli perak itu harus tunai dan sama bahwa keduanya sebagai alat tukar. Dan ‘illat tersebut menurut mereka itu ‘illat larangan jual beli atau tukar menukar secara tidak tunai apabila bagiannya berbeda. Tetapi, jika yang dipertukarkan itu satu jenis, maka harus sama nilai atau nominalnya.” (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, bab al-Buyu’, halaman 481).
Berdasarkan pandangan ini (khususnya Imam Malik), setiap mata uang dan alat tukar seperti rupiah, riyal, dan dolar itu berlaku ketentuan emas sebagai barang ribawi. Sehingga, penukaran valas harus tunai (yad biyad). Wallahu a’lam.