REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPD La Nyalla Mattalitti menilai, presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden memiliki empat implikasi yang bermasalah. Pertama, hal tersebut hanya memunculkan dua pasangan calon presiden saja.
Presidential treshold saat ini harus memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR pada Pemilu sebelumnya. Keadaan tersebut mempersempit kemungkinan lahirnya lebih dari tiga pasangan capres-cawapres.
“Meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon, tetapi tidak begitu dalam prakteknya. Buktinya dalam pemilu yang lalu-lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon,” ujar La Nyalla lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (5/6).
Hal itu kemudian menyebabkan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat. Bahkan polarisasi hingga saat ini masih terasa, dan hal tersebut justru menghasilkan sesuatu yang tak produktif.
Implikasi kedua dari presidential threshold adalah menghambat putra-putri terbaik bangsa yang hendak maju di Pilpres. Padahal, banyak sosok kompeten yang layak untuk maju dalam kontestasi tersebut.
"Kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik," ujar La Nyalla.
Implikasi ketiga, presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih.
Terakhir, presidential threshold membuat tak berdayanya partai kecil di hadapan partai besar mengenai pasangan calon yang akan diusung. Padahal, partai politik seharusnya didirikan untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional.
“Tetapi dengan aturan ambang batas presiden itu, maka peluang kader partai politik untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres,” ujar La Nyalla.