Selasa 08 Jun 2021 06:46 WIB

ASA Diskusikan Pentingnya  Mengembalikan Ruh Pendidikan

Diskusi ini kelanjutan diskusi  perdana bertema “Daur Ulang Pendidikan Kita”.

 Forum ASA (Awak Samo Awak) menggelar diskusi bertema Mengembalikan Ruh Pendidikan di Jakarta, Sabtu (5/6).
Foto: Dok ASA
Forum ASA (Awak Samo Awak) menggelar diskusi bertema Mengembalikan Ruh Pendidikan di Jakarta, Sabtu (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Forum ASA (Awak Samo Awak) menggelar diskusi dengan tema “Mengembalikan Ruh Pendidikan”.  Topik ini sengaja diangkat sebagai reaksi terhadap gonjang-ganjing kebijakan pendidikan akhir-akhir ini. Kebijakan yang terkesan menghindari agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan dan ilmu pengetahuan. 

Diskusi yang digelar di kawasan Bintaro Jakarta Selatan, Sabtu (5/6) menghadirkan pakar pendidikan Chandrawaty (direktur utama Sekolah-Sekolah Uhamka), Zulfikri Anas (direktur Indonesia Emas Institute   dan penulis buku Kurikulum untuk Kehidupan),  dan  HE Afrizal Sinaro (Dewan Pembina Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam, AYPI). Indra D  Himrat, pemred Suara Minang selaku pemandu diskusi.

Chandrawaty mengemukakan, Isyu tentang maraknya paham radikalisme dan terorisme menjadi alasan terpenting mengapa keberadaan agama sebagai pondasi dan filosofi kebijakan pendidikan dipersoalkan. Berawal dari hilangnya frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional, berlanjut dengan upaya menghapus mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib untuk semua jenjang pendidikan, serta mempersoalkan efektifitas pendekatan agama dalam proses pembelajaran untuk semua bidang studi dan kegiatan pembelajaran sebagaimana yang lazim di sekolah-sekolah keagamaan atau  sekolah umum yang menjadikan agama sebagai program unggulannya.

Menurutnya, walaupun pada akhirnya pemerintah melalui Mendikbud Nadiem Makarim membantah dan melakukan berbagai klarifikasi bahwa semua itu tidak benar, namun kesan itu tidak bisa dihapus begitu saja mengingat setiap kebijakan pasti dilatarbelakangi oleh ideologi dan agenda tertentu. Tentunya, hal itu tidak akan muncul begitu saja kepermukaan jika upaya ke arah sana tidak ada sama sekali. 

“Bangsa kita adalah bangsa yang religius. Itu kekuatan kita dibanding negara-negara lain, dan Pancasila pun lahir karena kuatnya sifat religius bangsa ini,”  tegas Chandrawaty seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id. 

Dia menambahkan, “Walaupun pemerintah mengatakan bahwa nilai-nilai agama sudah termasuk ke dalam nilai-nilai Pancasila, seperti kegotongroyongan, kebangsaan, cinta tanah air, empati, menerima keberagaman, dan seterusnya, hal itu bukan berarti agama tidak perlu dimunculkan secara eksplisit sebagai salah satu pondasi kebijakan pendidikan kita.  Pancasila itu sendiri lahir karena agama. Ketika agama dilepaskan dari pendidikan, otomatis Pancasila juga tidak diakui, itu artinya kebijakan pendidikan telah melanggar amanat konstitusi yang sesungguhnya.”

Zulfikri Anas menegaskan, ketika agama dilepaskan dari ilmu pegetahuan dan pendidikan, justeru akan memicu lahirnya kelompok-kelompok fanatik dan kelompok-kelompok sekuler akibat kedangkalan pemahaman terhadap hakikat kehidupan manusia secara keseluruhan. Penguasaan ilmu pengetahuan dan ilmu agama tanpa diikuti oleh kekuatan nalar dan berpikir ilmiah yang memadai. 

Zulfikri menambahkan, bahwa bagi manusia, sebagai makhluk yang berpikir (afala ta’qiluun), ilmu pengetahuan ilmiah adalah jembatan penghubung antara  alam pikiran,  hati nurani, dan rasa atau emosi. Hal ini  akan mematangkan diri yang bersangkutan sebagai manusia yang sesungguhnya (insan kamil), yaitu manusia yang cerdas, tangguh dalam menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan dalam kehidupan, dan konsisten menerapkan nilai-nilai kemanusiaan.

“Ketika agama, ilmu pengetahuan, dan pendidikan menyatu, maka kita berpeluang melahirkan  sumber daya manusia yang hebat, mandiri, merdeka dari berbagai belenggu, cerdas, bijaksana,  dan berhati mulia,” ujarnya.

Ia menegaskan, pandangan yang menganggap agama sebagai  penghalang  kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban merupakan salah satu contoh nyata kedangkalan nalar pemikiran orang-orang sekuler.  “Ketika nalar kita semakin jauh menjangkau dasar-dasar ilmiah, kita semakin sadar bahwa di  balik semua peristiwa di alam dan kehidupan, ada sebuah keteraturan dan harmoni, semua itu berasal dari satu sumber, yaitu sunnatullah. Ini yang membuat manusia itu semakin cerdas dan bijak,” paparnya.

Sejalan dengan hal tersebut, HE Afrizal Sinaro mengatakan, agama menuntun orang pada jalan yang benar. Merujuk pada pengertiannya, agama bermakna anti kekacauan, dan upaya mengendalikan emosi. “Bila agama diabaikan, apalagi ditakuti, atau bahkan ditentang,  maka kita akan kehilangan kendali, tidak ada lagi pendingin yang mampu menurunkan amarah. Justeru pemikiran tak terkendali itulah yang  memicu lahirnya paham-paham radikalisme,” ujar Afrizal.

Diskusi ini merupakan kelanjutkan diskusi  perdana pekan sebelumnya  bertema, “Daur Ulang Pendidikan Kita”. “Gagasan ini muncul karena  dunia pendidikan kita terlalu berkiblat ke Barat  sehingga menanggalkan jati diri kita sendiri. Kebijakan itu perlu ditinjau kembali agar rakyat Indonesia menjadi orang-orang yang mandiri sesuai karakter dan jatidiri bangsa Indonesia. Kita harus mengembalikan ruh pendidikan agar kita semua selamat hidup di dunia dan akhirat, seberat appaun tantangan yang dihadapi,”   ujar Indra D Himrat, selaku pemandu diskusi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement