Oleh : Nana Sudiana (Direktur Pendayagunaan IZI & Mahasiswa MSKI UIN Jakarta)
REPUBLIKA.CO.ID -- Persoalan zakat semakin strategis, bahkan sejumlah pihak berharap zakat selain bisa membangun kesejahteraan, juga mampu mendukung program moderasi beragama di Indonesia. Moderasi beragama sendiri adalah cara pandang dalam beragama secara moderat. Cara pandang ini pada intinya adalah memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem.
Indonesia yang majemuk, memerlukan cara yang harmoni dalam menjalaninya, baik dalam urusan beragama maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap elemen bangsa ibarat benda-benda di sebuah taman yang akan memperindah dan membuat taman semakin cantik dan menarik. Setiap bagiannya yang berbeda akan saling melengkapi dalam nuansa harmoni yang menyejukan mata.
Tulisan singkat ini bermaksud menguraikan cara pandang moderasi beragama di tengah umat Islam, sekaligus menjawab apakah benar zakat mampu mendorong lahirnya moderasi beragama di Indonesia.
Sejarah Cara Pandang Umat
Soal moderasi beragama, sebagian umat Islam belum tentu setuju. Secara faktual, umat Islam sendiri masih terpolarisasi pada sejumlah pandangan. Pandangan-pandangan ini ada kalanya membuat jarak antar elemen dan kadang dalam urusan tertentu saling mendekat dan berhimpitan.
Dalam sejarah panjang perjalanan umat Islam di Indonesia, soal perbedaan cara pandang ini, kadang bisa semakin melebar bila urusan-nya mulai ke soal cara pandang politik. Sejak Pemilu pertama pada tahun 1955, hingga pemilu terakhir pada tahun 2019, kita bisa menyaksikan beragam kehadiran parpol-parpol yang sebagiannya menawarkan Islam sebagai cara pandang dan solusi versi masing-masing.
Situasi ini, bertambah semarak ketika secara nyata, ada juga sejumlah ormas Islam di negeri ini. Ormas menambah keanekaragaman umat Islam dan semakin meneguhkan bahwa bicara Islam di Indonesia, sesungguhnya bicara kemajemukan ditengah kesatuan umat. Dalam kata lain, Islam Indonesia adalah wajah Islam yang harmoni dalam balutan kemajemukan.
Bila kita tarik ke belakang, seorang peneliti bernama Clifford Geertz yang telah melakukan penelitian di dekade 1960-an di Mojokuto (Pare), Jawa timur, dia mengatakan ada dua perbedaan umum di tengah umat Islam yakni adanya perbedaan yang ia sebut santri dan abangan. Penelitian Geertz kemudian dibukukan dan diberi judul "Agama Jawa: Santri Priyayi dan Abangan".
Menurut Geerzt dalam bukunya, santri adalah varian masyarakat di Jawa yang taat kepada ajaran Islam, sedangkan abangan orang Islam yang lebih longgar dan tak terlalu taat pada ajaran Islam. Apa yang Geertz simpulkan, tak sepenuhnya menggambarkan hal yang sebenarnya, tetapi dalam situasi saat kini, varian umat seperti yang dikatakannya, setidaknya bisa merefleksikan apa yang terjadi di tengah Umat Islam Indonesia.
Di tengah kemajemukan unsur dan elemen umat Islam, ternyata dalam kacamata Geertz, masing-masingnya memiliki varian adanya santri dan abangan di dalamnya. Hal ini bisa saja terjadi karena proses pembelajaran dan masuknya nilai-nilai keagamaan pada masing-masing orang tidaklah lama. Pengaruh lainnya bisa muncul akibat interaksi antara para pemuka agama (kiai/ustadz) dengan masayarakat juga berbeda intensitasnya.
Islam sendiri sejak awal telah memiliki ajaran yang selaras dengan moderasi. Dalam Islam ada istilah Wasathiyah yang berasal dari akar kata "wasatha”.
Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat dari para ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-Asfahany, Wahbah al-Zuḥaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan lain sebagainya. Di dalam alquran, kata ummat terulang sebanyak 51 kali dan 11 kali dengan bentuk amama. Tetapi hanya satu frasa yang disandarkan pada kata “wasathan”, yaitu terdapat di dalam QS: al Baqarah; 143, yang artinya: "Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.”
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah dan makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani. Terkait Islam Washatiyah, Ketua Komisi Dakwah MUI, Cholil Nafis, menyatakan untuk membentuk umat yang wasathan tentu diperlukan adanya ajaran, sehingga membahas ajaran Islam Wasathiyah dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tentu menjadi suatu keniscayaan dan keharusan.
Dengan pengertian dan praktik Islam selama ini, sesungguhnya ajaran untuk berdiri di tengah (washat/moderat) telah lama dimiliki Islam, baik dari cara pandang yang tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah. Dapat pula disimpulkan beberapa inti makna yang terkandung di dalamnya, yaitu: sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith), terpilih, adil dan seimbang.
Ditinjau dari segi terminologinya, makna kata "wasathan" yaitu pertengahan sebagai keseimbangan (al tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (madiyah). Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah). Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat) dengan perubahan (taghayyur). Karena itu, sesungguhnya keseimbangan adalah watak alam raya (universum), sekaligus menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi.