Oleh : Indira Rezkisari*
REPUBLIKA.CO.ID, Ada dua isu besar yang sedang mencuat di masyarakat. Yang pertama adalah kenaikan kasus Covid-19 pasca-Lebaran dan kedua rencana pajak sembako. Keduanya meresahkan karena terkait erat kehidupan orang banyak.
Kenaikan kasus Covid-19 pasca-Lebaran memang diakui pemerintah tidak semasif tahun lalu. Saya menyikapinya dengan menyebut alhamdulillah. Berharap semoga puncak kasus Covid-19 pasca-Lebaran bisa dilalui dengan terkendali.
Hingga pekan ketiga usai libur Lebaran, terdapat kenaikan kasus sebesar 53,4 persen. Tahun lalu pada periode yang sama, kenaikan kasusnya sudah mencapai 80,5 persen. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan, potensi lonjakan kasus diperkirakan masih akan terus terjadi.
Meski masih terkendali, dalam catatan Satgas Penanganan Covid-19 saat ini sudah terdapat sembilan kabupaten/kota yang mencatat kenaikan kasus lebih dari 100 persen. Angka keterisian tempat tidur pasien Covid-19 di rumah sakitnya juga telah melebihi 70 persen.
Agar rumah sakit tidak membeludak, pemerintah sudah meminta manajemen aktif mengevaluasi perkembangan pasiennya. Bila ada pasien Covid-19 bergejala sedang yang sudah mulai pulih, rumah sakit dibolehkan segera merujuk pasien ke lokasi isolasi komunal ataupun melakukan isolasi mandiri di rumah.
Evaluasi keterpakaian tempat tidur secara rutin dilakukan demi mengantisipasi ancaman lonjakan keterisian tempat tidur isolasi rumah sakit. Data Satgas menemukan sudah ada 15 kabupaten/kota dengan lonjakan kasus di atas 100 persen selama sepekan terakhir, tetapi angka keterisian tempat tidurnya di bawah 70 persen. Tanpa respons tepat, sangat mungkin angka keterisian tempat tidur naik, bahkan menyebabkan rumah sakit dan nakes kewalahan.
Membaca data tersebut, masyarakat diajak kembali harus mengencangkan kewaspadaannya. Kenaikan kasus Covid-19 artinya semakin banyak anggota masyarakat di sekitar kita yang mungkin tanpa disadari sedang terpapar virus corona jenis baru. Ditambah lagi fakta bahwa mutasi Covid-19 atau varian baru corona juga sudah masuk ke Indonesia, bahkan telah terjadi transmisi lokal. Transmisi lokal artinya sudah ditemukan kasus Covid-19 dengan varian baru tanpa pasiennya pernah keluar negeri atau mengalami kontak dengan pasien kasus varian baru.
Di tengah kenaikan kasus Covid-19 yang kian bertambah, tambahan sedikit pada Rabu (9/6) kenaikan kasus naik hingga 7.725 atau jumlah terbanyak selama beberapa bulan terakhir, hidup juga semakin tidak mudah bagi masyarakat. Kabar pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap barang-barang kebutuhan pokok membuat kepala saya jadi pening.
Bayangkan dong, sudah didera kebeterbatasan sosial akibat Covid, lalu penderita Covid yang belum sembuh benar sudah diminta dialihkan ke lokasi isolasi mandiri atau pulang ke rumah, sekarang pemerintah akan menaikkan harga sembako yang setiap hari pasti dibeli oleh masyarakat karena namanya juga kebutuhan pokok. Kalau Anda belum tahu, jenis-jenis kebutuhan pokok yang akan dikenakan PPN masuk kategori sangat dibutuhkan masyarakat, di antaranya beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.
Ketika saya mengunggah kabar berita ini ke akun media sosial saya, seorang rekan berkomentar. Artinya, nanti makan petai dan jengkol pun akan dikenakan pajak?
Ya betul, harga bahan pangan pokok yang bagi masyarakat terimbas pandemi saja sudah berat akan dibuat lebih berat lagi. Catat, masyarakat kelompok miskin sudah kian tidak merasakan subsidi dampak pandemi, seperti sudah tidak ada lagi subsidi listrik hingga bantuan sosial tunai.
Data BPS pada September 2020 sudah menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah 2,7 juta bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Jumlah penduduk miskin sudah mencapai 27,55 juta orang, atau 10,19 persen penduduk Indonesia.
Sementara, menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga. Bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka.
Pengenaan PPN sembako artinya pajak yang ditarik atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak (PKP), kini akan dibebankan pengusaha kepada konsumen.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, sudah menjelaskan pemerintah tak akan membabi buta untuk menaikkan tarif PPN dan memperluas objek pajak. Menurutnya pemerintah tak akan berbuat konyol dalam menetapkan kebijakan. Hal ini disebabkan pemerintah sedang memperjuangkan pemulihan ekonomi pascadihantam pandemi Covid-19.
Tapi ya, kenaikan tetaplah sebuah kenaikan. Mau itu kenaikan kasus Covid-19 atau kenaikan harga pangan pokok. Bisa apa masyarakat?
*Penulis adalah jurnalis Republika.co.id