REPUBLIKA.CO.ID,- Oleh Tony Rosyid*
Ada tiga preferensi pemilih. Pertama, preferensi rasional. Mereka memilih menggunakan otaknya. Melakukan telaah terhadap track record calon. Lihat dulu integritasnya, kapasitasnya, prestasinya, baru menentukan pilihan.
Kedua, preferensi sosiologis. Memilih calon berdasarkan identitas kelompok. Karena sesama etnis, sama organisasinya, berasal dari satu daerah, dll. Gak peduli track recordnya, yang penting orang awak, ya dipilih.
Ketiga, preferensi psikologis. Modal senyum, suka pakai kaos oblong, foto bersama pemulung, bergaya ndeso, deketi tuna wisma, ini semua mempengaruhi psikologi pemilih. Gak peduli si calon itu punya kasus korupsi, gak punya prestasi, yang penting senyumnya renyah. Pilih!
Masyarakat Indonesia paling mudah disentuh hatinya. Gampang iba dan hilang rasionalitasnya. Lihat orang dizalimi, iba. Padahal, kadangkala itu setingan, by design.
Pemilih karena faktor psikologis ini jumlahnya mayoritas. Sadar akan fakta politik ini, banyak politisi kemudian menebar pencitraan. Buat atraksi yang bisa menarik hati rakyat. Lakukan survei untuk mengetahui sikap dan performence apa saja yang disukai serta mampu menyentuh hati pemilih. Termasuk cara berpakaian, gembel mana yang perlu didatangi, dll. Inilah atraksi politik yang selama ini dianggap mampu menghipnotis pemilih.
Selama faktor emosional mendominasi cara rakyat memilih, maka politik akan diwarnai oleh panggung teatrikal. Para calon akan bermain watak dan melakukan akrobat politik untuk menipu pemilih. Akibatnya, dunia politik akan menjadi panggung sandiwara yang penuh kebohongan. Hasilnya, elit politik yang terpilih adalah tokoh bohong-bohongan. Prestasi nol, modalnya cuma pencitraan.
Dan faktanya, banyak pemimpin dan elit politike yang terpilih adalah para pemain sirkus yang sebenarnya tidak mengerti banyak hal tentang bagaimana mengelola negara. Tidak tahu problem negara, apalagi menyelesaikannya. Inilah potret negara yang didominasi oleh para politisi minus negarawan.
Kalau akhir-akhir ini anda seringkali muak dengan banyaknya politisi tak bermutu, itu karena demokrasi kita adalah demokrasi akrobatik. Meminjam istilahnya Tamsil Linrung, ini akibat rakyat telah dibuai oleh kemunafikan demokrasi. Dampaknya, banyak kebijakan dan produk hukum lahir dari akrobat politik.