Oleh : Abdul Rachman Thaha, Anggota Komite I DPD RI
REPUBLIKA.CO.ID, Jauh sekali jarak antara majelis hakim dan jaksa penuntut hukum dalam perkara Megamendung dengan terdakwa HRS. Pada umumnya, dalam persidangan di banyak negara, hukuman penjara diberikan hanya kepada terdakwa yang melakukan kejahatan kelas berat. Sementara, denda diberikan kepada pelaku yang perbuatan pidananya dinilai ringan.
Apalagi, saat besaran denda yang hakim putuskan berbeda tajam dengan nilai denda yang jaksa tuntutkan, kian nyatalah bahwa perbuatan terdakwa memang tergolong ringan. Begitu juga karena hakim tidak mengirim HRS ke rumah prodeo, semakin terkoreksi anggapan komplotan buzzer bahwa HRS sejatinya bukan orang yang berpotensi membahayakan orang banyak.
Denda memang cara untuk mengubah tindak-tanduk terdakwa. Tapi, karena ia tidak dipenjara, bisa dipahami upaya mengubah terdakwa sama sekali tidak perlu dilakukan dengan menjauhkannya dari publik. HRS tetap dibolehkan beraktivitas asalkan tidak dengan melanggar prokes.
Lalu, bagaimana efek denda bagi HRS terhadap tingkat kepatuhan masyarakat pada prokes? Apakah masyarakat akan menjadikan denda Rp 20 juta itu sebagai pelajaran?
Semestinya begitu. Tapi ....