Oleh : Mega Waty, Ketua Umum PP Wanita Perisai; Founder sekaligus Direktur Program Indonesia Care
REPUBLIKA.CO.ID, Akhir-akhir ini publik disuguhkan oleh tayangan televisi bergenre sinetron di salah satu stasiun televisi. Public figur dan influencer yang fokus terhadap isu perempuan pun turut menyuarakan keresahan mereka. Pasalnya, sinetron yang bertajuk serial "Catatan Hati Seorang Istri" tersebut menyuguhkan beberapa bentuk pendiskriminasian dan pelanggengan konstruk budaya patriarki yang menjadikan citra perempuan sebagai komoditas “dagang” sepanjang masa.
Sinetron tersebut menyuguhkan alur cerita rumah tangga seorang suami yang memiliki tiga orang istri dalam satu rumah. Alasan si suami tersebut melakukan poligami ada beberapa sebab. Pertama, ingin mendapatkan keturunan. Hal ini disebabkan dari kedua istri sebelumnya sang suami tidak dapat memberikan keturunan.
Kedua, merasa dominan karena posisinya sebagai suami di dalam rumah tersebut. Yang lebih ironis lagi adalah istri ketiga dalam sinetron ini diperankan sebagai seorang anak di bawah umur yang polos dan baru lulus sekolah menengah atas, lalu ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, tetapi terhambat dikarenakan faktor ekonomi yang tidak menunjang.
Alasan tersebutlah yang akhirnya membuat si pemeran utama, yaitu si istri ketiga, terpaksa menikah. Di samping juga ada tuntutan keluarga untuk menyelamatkan kondisi keluarga karena memiliki utang budi juga terhadap pihak si suami tadi.
Tidak berhenti di situ saja, eksploitasi penderitaan si pemeran utama di dalam kehidupan rumah tangganya. Ia cenderung mendapat perlakuan jahat dari kedua istri lainnya. Banyak adegan-adegan kedua istri lainnya berusaha berbuat jahat kepada si istri ketiga yang masih belia ini. Adegan tersebut, seperti berusaha mencelakai atau berusaha menyakiti dan menghilangkan nyawa bayi dalam kandungan si istri ketiga.
Atas aksi jahat dan culas dari masing-masing akting dua perempuan lainnya tersebut, khalayak berhasil tersulut emosinya dan mencaci maki kedua pemeran istri pertama dan kedua tadi sebagai perempuan jahat, ular berkepala dua, egois, dan lain sebagainya. Dari penggambaran sinetron tersebut, kita dapat melihat bahwa citra perempuan
sampai pada hari ini masih berkisar subordinat dibandingkan dengan laki-laki.
Ironisnya lagi adalah khalayak masih nyaman dan menikmati komoditas konstruksi budaya terhadap perempuan itu sendiri. Konstruksi yang terbangun bahwa laki-laki berpoligami memiliki alasan kuat dan juga dibolehkan oleh agama, dalam kasus ini ketidakberdayaan perempuan memberikan keturunan adalah pemicu utamanya.
Perempuan masih saja dinilai sebagai mesin reproduksi pencetak anak. Jika mesin tersebut tidak berfungsi dengan baik, boleh diganti atau bahkan dibuang, sementara bagaimana jika posisi infertile tersebut justru dimiliki oleh laki-laki? Tentu, tidak akan sedramatis itu karena laki-laki memiliki kuasa dominan atas hal tersebut.
Kemudian, yang disajikan dalam sinetron ini adalah perkawinan di bawah umur. Memang dalam UU Perkawinan masih disebutkan batas usia anak menikah adalah jika laki-laki berusia 18 tahun dan perempuan berusia 16 tahun, tetapi UU tersebut sudah seharusnya direvisi dengan tepat mengingat hal tersebut bertentangan dengan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa yang disebut anak-anak adalah yang berusia di bawah 18 tahun dan anak-anak berhak mendapatkan perlindungan serta mendapatkan hak-haknya.
Sementara, menikah di bawah umur cenderung menjadi alasan hak anak tersebut tidak terpenuhi. Banyak masyarakat prasejahtera menganggap bahwa menikah muda adalah alasan untuk mengurangi angka kemiskinan, namun pada realitasnya banyak yang menikah muda, tapi tidak juga menekan angka kemiskinan. Justru sebaliknya.
Di samping itu, menikah muda juga menghambat pendidikan. Dari persentase yang ada...