REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Novi Candra (Psikolog Anak & Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada)
Fenomena BTS meal di mana banyak masyarakat Indonesia merelakan para pengemudi taksi online untuk antre panjang dan berkerumun menerjang bahaya, sempat menjadi berita di media massa, bahkan media mainstream, baik nasional maupun di luar negeri.
Saya jadi teringat puluhan tahun lalu saat mendengar cerita salah satu diplomat Indonesia di Thailand yang sempat ke Korea Selatan dan melihat anak muda di sana belajar mengenai bahasa dan budaya Indonesia. Saat ia bertanya mengapa mereka belajar Indonesia, jawaban yang ia peroleh sangat mengejutkan.
"Karena, ke depan Indonesia akan menjadi market dan pasar terbesar bagi Korea Selatan."
Saat itu kami tercengang dan saat ini hal itu menjadi kenyataan. Indonesia adalah pasar terbesar industri kreatif Korea Selatan, seperti K-Pop, drama Korea (drakor), bahkan berbagai kuliner Korea.
Tidak hanya menjadi pasar terbesar, sebagian besar anak muda yang mengonsumsi K-Pop dan drakor menjadi fan, Army, atau jika di dalam ilmu psikologi hal ini disebut fanatik atau fanatisme, di mana mereka rela melakukan apa saja demi terkoneksi dengsn idolanya. Membeli aksesorinya meskipun harganya mahal. Bahkan, yang terakhir mereka tak sabar mendapat bungkus McDonald's bertuliskan BTS meski dalamnya isinya sama seperti biasanya.
Fanatisme adalah perilaku tidak kritis dan irasional seseorang karena mengikuti sebuah paham atau kelompok tertentu. Dulu, fanatisme biasanya dikaitkan dengan agama atau politik. Tapi, semakin ke sini, fanatisme dapat terjadi di berbagai area, misal area olahraga (misal fanatisme pada klub sepak bola tertentu), dan akhir-akhir ini fanatisme pun merebak di dunia industri kreatif, misal fanatisme pada idola atau selebritas, seperti juga kasus fanatisme pada BTS ini.
Seorang psikolog Bruce Alexander mengungkapkan bahwa fanatisme punya konteks yang hampir sama dengan kecanduan sehingga seseorang yang kecanduan sesuatu akan bisa bertindak irasional dan tidak lagi mampu mengkritisi terhadap perilakunya dan apa yang terjadi. Penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mudah terjerumus dalam fanatisme adalah orang-orang yang kurang kuat membangun identitas dirinya. Mereka yang mudah fanatik biasanya kurang memiliki nilai-nilai personal yang kuat.
Orang-orang seperti ini sangat mudah mengikuti nilai-nilai yang dianut orang lain atau sebuah kelompok tanpa sanggup mengkritisi.
Ngerinya lagi, di dunia kontemporer dan digital saat ini, disinyalir oleh Peter S (seorang sosiolog), anak-anak muda semakin luntur keterikatannya dengan nilai nilai dalam keluarga, nilai-nilai tradisional budayanya, juga komunitas masyaraktnya. Artinya, pada era ini jati diri seseorang semakin sulit ditemukan di antara berbagai nilai nilai yang terekspose di media digital.
Berdasarkan studi tersebut, maka membangun jati diri seorang anak yang dibangun dengan nilai-nilai yang kuat di keluarga, masyarakat, juga pendidikan adalah sebuah keniscayaan.
Betul kata Yuval Noah Harari, salah satu tugas pendidikan masa kini dan masa depan adalah bagaimana seorang anak mampu membangun nilai-nilai personal dan self identity agar ia tidak mudah terseret arus gelombang fanatisme yang akan digunakan oleh para kapitalis dan para politikus untuk membuat kerumunan yang membeli produk mereka tanpa kekritisan.
Identitas diri yang kuat harus dibangun dengan penalaran yang tajam agar anak anak kita mampu tetap tegak dan bertahan menjadi dirinya di tengah badai informasi yang menghipnotis nilai-nilai baru melalui digital.
Pada akhirnya, pendidikanlah yang paling mampu dijadikan senjata dalam mengasah penalaran dan membangun identitas diri.
Fenomena BTS Meal adalah potret fenomena pendidikan Indonesia yang masih belum sanggup membangun penalaran dan identitas anak-anak bangsanya. Akankah kita biarkan anak-anak kita menjadi bahan olokan bangsa lain?