REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan fertilitas, endokrinologi, dan reproduksi dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Andon Hestiantoro, mengatakan, endometriosis pada wanita yang sudah menopause (mati haid) akan mereda atau menghilang. Penyakit yang bergantung atau dipengaruhi hormon estrogen ini umumnya dialami wanita usia produktif, yakni saat hormon sedang banyak-banyaknya. Pada anak-anak, biasanya endometriosis belum bergejala karena belum pubertas, estrogen belum meningkat.
"Pada wanita menopause, hormon estrogen sudah lebih rendah. Kemungkinan beberapa endometriosis akan mereda atau menghilang setelah menopause," kata dia dalam sebuah webinar kesehatan, Senin (14/6).
Endometriosis yang kerap memunculkan gejala nyeri hebat saat haid pada bagian perut dan infertilitas sebenarnya bisa diobati, yakni menggunakan obat yang tidak menekan hormon estrogen rendah seperti pada kondisi menopause (di bawah 30 pg/ml) atau malah membiarkan tinggi (di atas 50 pg/ml). Hormon estrogen perlu dipertahankan dalam kadar seimbang.
Apabila sangat rendah bisa menyebabkan tulang keropos, sementara bila terlalu tinggi bisa memicu endometriosis tumbuh dan kambuh. Prosedur bedah sebenarnya juga termasuk dalam pengobatan penyakit ini, namun sifatnya sebatas bila kondisi endometriosis mengganggu organ lain seperti usus, ginjal, kandung kemih, menyulitkan saat buang air dan senggama hebat.
"Atau diobati tidak sembuh-sembuh, boleh dioperasi. Tetapi kalau bisa menggunakan medikamentosa, maka kita bisa mencegah endometriosis dioperasi berulang-ulang," tutur Andon.
Operasi berulang justru memicu kekambuhan endometriosis sekitar 30-50 persen. Dalam setahun, risiko kambuh bisa 30 persen dan meningkat menjadi 50 persen dalam dua tahun sehingga harus dioperasi lagi.
Di sisi lain, beberapa studi menunjukkan, operasi pada endometriosis memiliki risiko terhadap cadangan ovarium. Studi Exacoustos dkk (2004) memperlihatkan, eksisi endometrioma terbukti mengurangi volume ovarium.