REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Public Health England (PHE) mengungkapkan bahwa varian Covid-19 Delta yang kini mendominasi di Inggris memiliki sifat yang mudah menular. Varian yang juga dikenal dengan nama B.1.617.2 tampak 60 persen lebih menular dibandingkan varian Alfa.
Varian Alfa merupakan varian SARS-CoV-2 yang sempat mendominasi Inggris pada musim gugur lalu. Varian Alfa juga dikenal dengan nama B.1.1.1.7.
Peningkatan kasus Covid-19 yang disebabkan oleh varian Delta tampak berlipat ganda dalam waktu 4,5-11,5 hari. Menurut laporan PHE, kasus Covid-19 yang disebabkan oleh varian Delta meningkat dari 29.892 kasus menjadi 42.323 kasus sejak 2 Juni.
"Dengan angka kasus varian Delta yang meningkat di sepanjang negeri, vaksinasi merupakan pertahanan terbaik kita," kata Chief Executive Health Security Agency Inggris Jenny Harries, seperti dilansir WebMD.
Menurut laporan PHE, tidak divaksinasi dapat meningkatkan kemungkinan untuk dirawat di rumah sakit dan kematian akibat Covid-19. Dari 42 pasien Covid-19 yang memiliki varian Delta dan mengalami kematian, sebanyak 23 pasien di antaranya belum divaksin, satu pasien baru menerima satu dosis vaksin, dan 12 lainnya sudah menerima dua dosis vaksin lebih dari dua pekan sebelumnya.
Direktur Regional Eropa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Hans Henri Kluge memperingati bahwa varian Delta bisa menyebar ke benua lain bila Inggris tak dapat mengontrol penyebarannya. Kluge mengatakan varian Delta merupakan variant of concern yang tampak memiliki kemampuan lebih tinggi untuk menular dan menghindari sistem imun.
Varian Delta disebut-sebut merupakan dalang di balik meningkatnya kasus kesakitan dan kematian Covid-19 di India saat ini. Varian Delta memang teridentifikasi pertama kali di India.
Varian Delta juga sudah ditemukan di Amerika Serikat saat ini. Diperkirakan, varian ini menyebabkan sekitar 6 persen dari kasus Covid-19 di Amerika Serikat.