REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengatakan, kementeriannnya akan mengkaji wacana pemerintah yang akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sektor pendidikan. PPN pada sektor pendidikan tertuang dalam draf revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
"Mengenai wacana penambahan pajak PPN untuk sekolah itu tentunya akan kami kaji," ujar Nadiem dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Selasa (15/6).
Kemendikbudristek akan terlebih dahulu mendalami dan melihat situasi yang mengiringi wacana yang tertuang dalam draf RUU KUP itu. Nadiem mengatakan, ia akan menyampaikan gelombang protes terkait pajak pendidikan ke internal Pemerintah Pusat.
"Pesan ini akan kami bawa ke dalam internal pemerintahan pusat," ujar Nadiem.
Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang dan jasa. Berdasarkan rancangan revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah menghapuskan jasa pendidikan dari kategori jasa bebas PPN.
“Jenis jasa yang tidak dikenai PPN yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut, g (jasa pendidikan) dihapus seperti pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus,” tulis rancangan RUU KUP seperti dikutip Kamis (10/6).
Secara total, pemerintah mengeluarkan 11 jenis jasa dari kategori bebas PPN. Dengan demikian, hanya tersisa enam jenis jasa kategori bebas PPN dari sebelumnya 17 jenis jasa.
Adapun tarifnya, pemerintah saat ini juga berencana untuk menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen. "Tarif PPN adalah 12 persen," tulis Pasal 7 ayat 1 draft RUU KUP.
Pada kategori barang, ada dua kelompok yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Keduanya yaitu hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk batu bara; dan barang kebutuhan pokok.