Selasa 22 Jun 2021 00:27 WIB

 Sulit Tidur Bagi Lansia Berisiko Demensia dan Kematian Dini

Tidur memainkan peran yang penting untuk mengurangi risiko penurunan kognitif.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Tidur (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Tidur (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lansia mengalami kesulitan tidur dan sering terbangun di malam hari berisiko tinggi terkena demensia atau meninggal lebih awal. Menurut studi terbaru dari Harvard Medical School, tidur memainkan peran yang sangat penting untuk mengurangi risiko jangka panjang kita untuk penurunan kognitif saraf dan semua penyebab kematian.

Hubungan antara tidur, demensia, dan kematian dini dari penyebab apa pun sangat mengkhawatirkan. Menurut World Sleep Society, kurang tidur mengancam kesehatan hingga 45 persen populasi dunia, dilansir di CNN, Senin (21/6).

Baca Juga

Tergantung pada usia, kita seharusnya tidur antara tujuh dan 10 jam setiap malam. Tetapi menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), satu dari tiga orang Amerika tidak cukup tidur, 

Selain itu, 50 juta hingga 70 juta orang Amerika berjuang dengan gangguan tidur seperti sleep apnea, insomnia, dan sindrom kaki gelisah, yang dapat merusak tidur malam yang nyenyak.

CDC menyebut hal itu sebagai masalah kesehatan masyarakat. Gangguan tidur dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi terhadap kondisi termasuk diabetes, stroke, penyakit kardiovaskular dan demensia.

Studi yang diterbitkan baru-baru ini di Journal of Sleep Research, menganalisis data yang dikumpulkan oleh National Health and Aging Trends Study (NHATS), yang melakukan wawancara langsung tahunan dengan sampel perwakilan nasional dari 6.376 penerima asuransi kesehatan Medicare.

Data dari antara 2011 dan 2018 diperiksa untuk studi baru, dengan fokus pada orang-orang dalam kategori risiko tertinggi. Mereka mengatakan memiliki masalah tidur hampir setiap malam.

Kesulitan tidur yang dilaporkan sendiri oleh peserta dalam penelitian ini kemudian dibandingkan dengan catatan medis masing-masing peserta.

Karena studi NHATS mengumpulkan data tidur tahunan, studi baru ini mampu mengikuti totalitas kesulitan tidur untuk setiap orang selama delapan tahun."Ini adalah kekuatan dari penelitian ini, karena kesehatan tidur bisa naik turun selama bertahun-tahun," kata peneliti Rebecca Robbins.

Kekuatan lain dari penelitian ini adalah kemampuan untuk memisahkan dampak dari sedikit kesulitan tidur versus sering terbangun di malam hari pada risiko demensia dan kematian.

"Kami menemukan hubungan yang kuat antara seringnya sulit tidur dan terbangun di malam hari dan demensia dan kematian dini dari sebab apa pun, bahkan setelah kami mengendalikan hal-hal seperti depresi, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, dan kondisi kronis," kata Robbins.

Studi menemukan bahwa orang yang sulit tidur hampir setiap malam memiliki sekitar 44 persen peningkatan risiko kematian dini dari penyebab apa pun. Mereka yang sering terbangun di malam hari dan berjuang untuk kembali tidur memiliki risiko yang agak lebih tinggi, peningkatan risiko kematian dini sebesar 56 persen dari sebab apa pun.

Risiko demensia serupa. Orang yang dilaporkan secara rutin mengalami kesulitan tidur memiliki 49 persen peningkatan risiko demensia. Sementara mereka yang sering terbangun di malam hari dan mengalami kesulitan tidur kembali memiliki 39 persen peningkatan risiko demensia.

Tetapi orang-orang yang memiliki masalah sulit tidur dan terbangun di malam hari memiliki risiko tertinggi terkena demensia atau meninggal lebih awal karena sebab apa pun.

"Kami menemukan 56 persen peningkatan risiko demensia dan risiko 80 persen lebih besar dari semua penyebab kematian selama delapan tahun berikutnya di antara mereka yang mengalami kedua kesulitan tidur bersamaan, tertidur atau bangun dari tidur," kata Robbins.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement