Oleh : Nuraini, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Seluruh negara di dunia kini berupaya untuk semaksimal mungkin menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada warganya. Negara kaya berlomba mendapatkan jumlah vaksin yang cukup untuk mendorong kekebalan kelompok secepatnya. Sementara, negara miskin menyerukan bantuan dan akses yang adil untuk vaksin Covid-19.
Untuk mendapatkan vaksin Covid-19, negara harus menempuh berbagai upaya yang biasanya disebut sebagai diplomasi vaksin. Ketersediaan dana saja tidak menjamin suatu negara akan mendapatkan stok vaksin dengan cepat. Vaksin Covid-19 saat ini menjadi rebutan dunia. Indonesia bisa dikatakan cukup beruntung karena masih mendapatkan kiriman jutaan vaksin Covid-19, mulai dari produsen asal China, yaitu Sinopharm dan Sinovac, hingga AstraZeneca. Indonesia mendapatkan vaksin AstraZeneca melalui program Covax, pembagian vaksin dunia yang diinisiasi WHO. Setidaknya, hingga akhir Mei 2021, Indonesia sudah mendatangkan 83,9 juta dosis vaksin Covid-19.
Setelah mendapat vaksin, setiap negara memiliki pekerjaan utama untuk menyuntikkan vaksin kepada sebanyak mungkin warga negara. Akan tetapi, menyuntikkan vaksin ternyata bukan perihal yang cukup mudah dilakukan. Pasalnya, tidak semua orang sukarela disuntik vaksin. Alasannya berbagai macam, mulai dari khawatir efek samping hingga tidak percaya dengan vaksin alias antivaksin karena tak menggangap Covid-19 benar-benar ada.
Golongan antivaksin ini yang membuat kesal. Apa iya cukup dibiarkan saja sehingga jumlah mereka berkurang karena mati kena Covid-19? Tentu tidak, karena mereka justru menimbulkan kekhawatiran. Jika tidak menjadi penular Covid-19, golongan ini bisa merepotkan petugas medis jika tertular Covid-19. Vaksin Covid-19 terbukti telah mengurangi tingkat keparahan infeksi. Selain itu, dampak jangka panjangnya, kekebalan kelompok akan lebih sulit tercapai jika tidak semua target vaksinasi mendapatkan vaksin.
Menghadapi golongan antivaksin ini sepertinya bisa menengok cara berbagai negara bagian AS untuk menggencarkan vaksinasi Covid-19. Negara bagian Ohio menawarkan hadiah undian hingga 1 juta dolar AS dan beasiswa. Hasilnya, lebih dari 2,7 juta warga dewasa mendaftar vaksinasi untuk hadiah 1 juta dolar AS. Sementara, lebih dari 104 ribu anak usia 12-17 tahun mengikuti pengundian beasiswa perguruan tinggi. Iming-iming hadiah juga menjadi strategi Kalifornia untuk mendorong lebih banyak warganya mendapatkan vaksinasi. Tak tanggung-tanggung, Kalifornia merogoh hingga 116,5 juta dolar AS atau sekira Rp 1,6 triliun untuk hadiah dalam bentuk tunai dan kartu. Hadiah itu akan dibagikan melalui berbagai cara, seperti undian lotere hingga sistem pendaftar vaksinasi tercepat.
Cara yang ditempuh negara bagian AS itu tampaknya sukses mendorong warganya divaksinasi. Jika warga tidak percaya vaksin, setidaknya mereka masih butuh uang. Hasilnya pun nyata, otoritas kesehatan AS, The US Centers for Disease Control and Prevention (CDC), mengizinkan warga yang sudah divaksinasi penuh untuk melepas masker di luar maupun di dalam ruangan pada pertengahan Mei 2021. Langkah itu juga sekaligus diharapkan dapat mendorong lebih banyak warga untuk divaksinasi Covid-19 secara penuh.
Sayangnya, untuk kasus Indonesia mengimingi hadiah saja sepertinya tidak cukup meningkatkan tingkat vaksinasi Covid-19. Jika warga yang percaya atau tidak percaya vaksin kemudian tertarik untuk mendapatkan vaksin, ternyata mereka harus menghadapi hambatan birokrasi, yaitu menunjukkan surat domisili. Hambatan birokrasi inilah yang tidak ada obat. Membujuk warga mau divaksinasi di tengah hoaks Covid-19 yang berseliweran di grup WA hingga media sosial saja, sudah menjadi persoalan pelik. Ini malah sejumlah daerah menyaratkan surat domisili bagi warga yang ingin mendapatkan vaksin. Ada saja persoalan di Indonesia ini yang kadang berasal dari "kalau ada yang lebih ribet, mengapa dibuat mudah?". Jika begini, berapa lama lagi kita bisa kembali ke kehidupan sebelum pandemi?