Rabu 30 Jun 2021 12:07 WIB

Penyebab Perempuan Rentan Alami Long Covid

Nyeri haid parah dan endometriosis dikaitkan dengan peningkatan aktivitas TLR.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Alasan perempuan cenderung mengidap long Covid (ilustrasi).
Foto: AP/Achmad Ibrahim
Alasan perempuan cenderung mengidap long Covid (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat pandemi Covid-19 merebak, fokus awal dunia adalah bagaimana mencegah kematian akibat Covid-19. Seiring waktu, bukan hanya hal itu yang patut diwaspadai, tetapi juga situasi baru di mana infeksi awal sembuh, namun gejala tetap ada dan berkepanjangan.

Long Covid merujuk pada kondisi di mana seseorang mengalami berbagai gejala serupa Covid-19 terus-menerus setelah dinyatakan pulih dari penyakit tersebut. Perempuan lebih rentan mengalami sindrom pasca-Covid ini, dan para peneliti berusaha mengungkap alasannya.

Sebagai permulaan, long Covid terkait dengan aktivasi berlebihan sel imun dalam darah dan sel imun-kompeten di otak. Sebagian dari respons imun awal terjadi melalui reseptor khusus pada permukaan sel imun bawaan yang disebut Toll-Like Receptors (TLR).  

Ketika TLR mengenali Covid-19 di dalam tubuh, sel melepaskan sinyal molekuler bernama sitokin sehingga tubuh merasa tidak sehat. Badai sitokin, bentuk pelepasan sitokin yang ekstrem, adalah ciri dari infeksi Covid-19 dalam tingkatan yang relatif parah.

Secara umum, perempuan melawan infeksi virus dan bakteri lebih efektif dibandingkan pria sehingga lebih sedikit perempuan meninggal akibat Covid-19. Namun, perempuan berisiko lebih tinggi untuk kondisi imun inflamasi seperti nyeri kronis, kelelahan kronis, dan penyakit autoimun.

Nyeri haid parah, endometriosis, dan nyeri panggul kronis dikaitkan dengan peningkatan aktivitas TLR. Sindrom kelelahan kronis long Covid sangat terkait dengan kondisi nyeri ginekologi yang ada sebelumnya, dan infeksi Covid-19 memicu stimulus kekebalan utama.

"Belum diketahui apakah infeksi Covid-19 akan memperburuk gejala berbasis kekebalan yang sudah ada sebelumnya pada perempuan, bahkan jika infeksi Covid-19 mereka ringan," ujar pakar ginekologi Susan Evans, dikutip dari laman the Guardian, Rabu (30/6).

Sejauh ini, mayoritas studi telah berusaha menganalisis kondisi pasien. Sebuah klinik di Paris, Prancis, memantau lebih dari 50 ribu pasien Covid-19 yang dirawat di rumah karena infeksinya tidak parah. Sebagian pasien mengalami long Covid bahkan beberapa bulan setelah infeksi.

Pasien dengan kelelahan berkepanjangan, nyeri otot, dan gejala kecemasan didominasi oleh perempuan, dengan perbandingan empat perempuan untuk satu orang laki-laki. Rentang usia pengidap long Covid itu relatif muda, yakni rata-rata 40 tahun.

Evans menyayangkan, selama ini pengidap sakit kronis pascainfeksi corona cenderung diberi tahu bahwa rasa nyeri hanya ada dalam pikiran mereka. Pimpinan Pelvic Pain Foundation of Australia itu menyampaikan bahwa sekarang para ilmuwan tahu hal itu tidak benar. 

Kondisi nyeri kronis seperti endometriosis, migrain, dan banyak lagi akibat long Covid nyata adanya dan perlu ada penanganan yang tepat. Terlebih, masyarakat global kini sukar menghindari infeksi Covid-19 dan butuh akses segera untuk mendapat vaksinasi.

Persentase perempuan di garda depan tenaga kesehatan global pun cukup besar, sekitar 67 persen. Jumlah itu tercatat baik sebagai dokter, perawat, guru, pekerja penitipan anak, pekerja perawatan lanjut usia, dan petugas kebersihan, tempat kesejahteraan komunitas bergantung.

"Dengan demikian, mereka berisiko lebih tinggi terkena virus daripada perempuan di komunitas umum, dan dapat menghadirkan sekelompok besar manusia dengan kebutuhan penanganan Covid-19 yang spesifik dan penting," ujar Evans.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement