Senin 05 Jul 2021 05:26 WIB

Ketika Pertimbangan Agama Dipinggirkan

Lesson Learning dari Covid-19 (6)

Nasaruddin Umar- Imam Besar Masjid Istiqlal
Foto: Republika/ Wihdan
Nasaruddin Umar- Imam Besar Masjid Istiqlal

Oleh : Prof Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal

REPUBLIKA.CO.ID, -- Agama dan pemeluknya mestinya menyatu. Agama seharusnya memberikan directions terhadap pemeluknya di dalam menempuh perjalanan sejarah hidup umat manusia.

Dalam era post-truth banyak sekali nilai-nilai menawarkan diri untuk dijadikan referensi di dalam menyelesaikan persoalan, baik sebagai individu, keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat dalam suatu negara. 

Apa jadinya sebuah masyarakat jika pertimbangan agama tidak lagi didengarkan? Bagaimana jadinya sebuah masyarakat relijius jika nilai dan norma agamanya mengalami marginalisasi?

Masih mampukah mereka terus menjadi dirinya sendiri,  atau mereka mengalami alienasi, disorientasi, hipokrit, atau bekerja di bawah standar? Jawaban ini semuanya terpulang kepada setiap individu. 

Marginalisasi nilai dan norma ajaran agama tidak mesti diartikan lantaran pemerintah tidak mengakomodasi pertimbangan agama di dalam membuat dan menerapkan kebijakan. Boleh jadi karena arus kuat modernisme yang yang melanda umat manusia secara universal ikut menggerus nilai-nilai ajaran agama. 

Serbuan nilai-nilai modernisme kini sudah seperti stateless values, sebuah tata-nilai yang bebas negara. Modernisme memiliki kemampuan untuk menembus batas-batas geografis bangsa dan negara, merasuk ke dalam lapisa-lapis budaya, dan menerobos sekat-sekat agama dan kepercayaan. 

Akibatnya sejumlah individu di dalam masyarakat mengalami gangguan keterbelahan kepribadian (split personality). Ada yang bersikap permisif, ada yang bersikap radikal, dan ada yang bersikap masa bodoh (stupidity).

Memang akan lebih parah jika ada kesengajaan negara untuk melakukan deprivasi norma-norma agama dengan melakukan disfungsionalisasi ajaran agama di dalam masyarakat, seperti yang pernah terjadi di sejumlah negara sekuler. 

Kemal Ataturk ketika menjadi penguasa Turki yang berpenduduk 97% muslim, pernah melarang warganya untuk menggunakan simbol-simbol Arab di negerinya, seperti atribut pakaian, termasuk penggunaan azan di masjid-mesjid dengan bahasa Arab. Masyarakatnya dipaksa menjadi modern dan sekuler. 

Namun apa jadinya? Bukannya mengantar Turki menjadi lebih baik dan lebih bermartabat, bahkan turki yang pernah menjadi pusat kerajaan Otoman/Usmani terjun bebas ke bawah ditinggalkan oleh sejumlah bangsa dan negara yang pernah menjadi protektoratnya.

Deprivasi ajaran agama oleh negara yang diwakili pemerintah di dalam masyarakat pernah terjadi secara sistematis pada era kolonialisme Belanda. 

Arsitek politik pemerintah Hindia Belanda yang sangat piawai, Prof. Dr. Salomon Keyzer, gurunya Prof. Snock Hurgronje, menyarankan agar umat Islam dibiarkan memperdalam pengetahuan keagamaan yang berhubungan dengan fikih ibadah, tetapi tidak dengan fikih politik (Fiqh al-Siyasah).

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement