Selasa 06 Jul 2021 04:42 WIB

Penutupan Masjid Masa PPKM Darurat dan Diksi Zalimi Umat

Argumentasi yang kerap berseliweran saat masjid ditutup karena PPKM Darurat.

Red: Joko Sadewo
Warga melintas di depan Masjid Agung Sleman, D.I Yogyakarta, Ahad (4/7/2021). Selama penerapan PPKM Darurat Jawa-Bali yang berlaku hingga 20 Juli mendatang, tempat-tempat ibadah serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah di Kabupaten Sleman ditutup sementara untuk menekan penyebaran COVID-19.
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Warga melintas di depan Masjid Agung Sleman, D.I Yogyakarta, Ahad (4/7/2021). Selama penerapan PPKM Darurat Jawa-Bali yang berlaku hingga 20 Juli mendatang, tempat-tempat ibadah serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah di Kabupaten Sleman ditutup sementara untuk menekan penyebaran COVID-19.

Oleh : Nashih Nashrullah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu detail dari PPKM Darurat Jawa Bali yang diberlakukan 3-20 Juli mendatang adalah penutupan tempat ibadah, termasuk masjid dan mushala. “Tempat ibadah seperti masjid, mushala, gereja, pura, wihara, dan kelenteng, serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah ditutup sementara.” Pro kontra pun muncul terkait penutupan sementara tersebut.

Di kalangan umat Islam, sebagian berpendapat penutupan masjid adalah bentuk diskriminasi bahkan menzalimi umat Islam. Munculnya anggapan ini, oleh sejumlah kalangan (lagi-lagi) dikaitkan dengan peta Pilpres 2019 lalu dan ketidaksukaan terhadap rezim yang kerap dituding anti-agama.

Argumentasi yang kerap berseliweran adalah di saat masjid atau mushala direkomendasikan ditutup sementara, tetapi di saat yang sama, justru mal dan pusat perbelanjaan dibuka meski dengan pembatasan kapasitas pengunjung dan jam operasional. Argumentasi lain adalah ketidakpercayaan pada Covid-19  dan anggapan bahwa Allah SWT akan melindungi umat Islam selama berada di dalamnya. (Perlindungan Allah SWT itu benar adanya, tetapi ia diperoleh dengan rangkaian usaha, bukan serta merta).

Polemik semacam ini, seharusnya tak perlu terjadi jika ada kesamaan persepsi tentang bahaya wabah dan langkah bersama menghadapinya. Ada persoalan yang jauh lebih penting daripada memperdebatkan tentang perlu atau tidaknya menutup masjid, yaitu tentang menutup celah malapetaka. Argumentasinya dari aspek syariat juga lebih kuat ketimbang memaksakan diri untuk membuka masjid untuk sholat berjamaah seperti biasa, layaknya tak ada wabah.