Oleh : Abdul Rachman Thaha, Anggota DPD RI, Ketua Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI) Sulawesi Tengah
REPUBLIKA.CO.ID, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB sekian tahun silam mencanangkan target ambisius bernama Zero Hunger by 2030. Artinya, warga dunia akan bebas dari rasa lapar selambatnya pada tahun 2030. Kurang dari sembilan tahun lagi, bagaimana langkah dunia merealisasikan target tersebut?
Nutrisi bagi Anak
Rasanya semua orang sudah tahu betul protokol kesehatan Covid-19. Cuci tangan, hindari kerumunan, kenakan masker. Anak-anak pun hapal di luar kepala tiga keharusan untuk menghadapi wabah itu.
Namun seiring perjalanan waktu, tak banyak lagi orang-orang yang mengingatkan bahwa di samping berdisiplin dalam prokes, setiap orang --termasuk anak-anak-- seharusnya menaruh perhatian pada kecukupan gizi dalam panganan yang mereka konsumsi. Dengan nutrisi berimbang yang dimakan anak-anak, pantas kita berharap anak-anak akan mampu bertahan di musim "pageblug" yang tampaknya kian lama kian tak terbendung penyebarannya. Terlebih akibat munculnya varian terbaru virus Corona yang membahayakan anak-anak, maka tak pelak memperkuat imunitas tubuh anak-anak lewat perbaikan gizi merupakan jalan utama agar mereka terhindar dari wabah.
Pesan tentang menjaga nutrisi anak sejatinya tidak hanya terkait Covid-19. Sebelum datangnya wabah Covid-19, masyarakat sesungguhnya tengah fokus berjibaku mengatasi masalah stunting.
Di sisi lain, perlipatgandaan jumlah perokok belia juga menambah pelik situasi. Dan ketika kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi keluarga menurun drastis, sungguh beralasan untuk khawatir bahwa masalah malnutrisi dan gangguan tumbuh kembang anak akan kembali mendaki dan konsumsi rokok akan terus tak terkendali.
Indonesia sendiri sejatinya pernah melalui sekian kali masa krisis, dan sekian kali itu pula lolos dari lubang jarum. Ahli sejarah, Heri Priyatmoko, misalnya, mencatat, krisis mendorong masyarakat menyiasati keadaan payah dengan melakukan diversifikasi pangan guna bertahan hidup. Laron, tupai, belalang, dan berbagai menu "eksotik" lainnya menjadi hidangan untuk mengenyangkan perut-perut yang kelaparan.
Pada satu sisi, "diversifikasi" sedemikian rupa mendemonstrasikan daya lenting masyarakat. Pada sisi lain, jika hari ini kita masih mempraktikkan "strategi bertahan hidup" yang sama, maka --harus diakui-- taraf kehidupan kita senyatanya tidak hanya berjalan di tempat tapi terlontar sangat jauh ke belakang.
Betapa seriusnya ancaman Covid-19 terhadap risiko malnutrisi tergambar, antara lain, dari Covid Impact Survey dan Survey of Mothers with Young Children. Bahwa, pada akhir April 2020, lebih dari satu di antara lima rumah tangga dan dua di antara lima keluarga yang memiliki anak berusia kurang dari dua belas tahun Amerika Serikat, mengalami ketidakamanan pangan (food insecurity).
Survei tersebut memang dilakukan lebih dari satu tahun lalu. Namun boleh jadi ada kemiripan latar situasi dengan Indonesia hari ini. Yakni, kita tengah bergelut dengan gelombang kedua Covid-19.
Angka-angka yang terpampang di media bahkan memperlihatkan situasi yang lebih gawat daripada gelombang sebelumnya. Pemerintah pun dikabarkan mengajukan pinjaman kembali ke luar negeri, sebagai pertanda sekaligus upaya untuk mengatasi timbunan masalah susulan sebagai imbas Covid-19.