Sabtu 10 Jul 2021 06:52 WIB

Mengapa Crazy Rich Perlu Bahagiakan Diri dengan Narkoba?

Potensi ketidakmampuan menikmati dunia ada pada kalangan crazy rich ini.

Nia Ramadhani dan Ardie Bakrie
Foto: Republika/Rusdy Nurdiansyah
Nia Ramadhani dan Ardie Bakrie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aad Satria Permadi (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Pada 8 Juli 2021 lalu, Polda Metro Jaya mengkonfirmasi penangkapan artis berinisial NR dan suaminya berinisial AB. Keduanya ditangkap atas dugaan penyalahgunaan sabu. Beberapa media massa tidak lagi sungkan untuk menyebut nama kedua public figure tersebut. Mereka adalah Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie. 

Mayoritas komentar warganet (netizen) terkait penangkapan keduanya adalah heran. "Kurang apa sih hidupnya kok masih narkoba segala". Keheranan semacam itu berseliweran di kolom komentar media sosial. 

Warganet seakan sangat heran, orang yang tercukupi duniawinya, kok masih mencari kesenangan lain yang haram. Ada kesan, warganet menganggap bahwa harta dan kepopuleran adalah solusi atas semua permasalahan hidup. Sehingga orang yang telah memiliki keduanya, seperti Nia dan Aldi, seharusnya tidak lagi mencari pelarian ke narkoba. 

Cara pandang warganet yang materialistik

Nia dan Aldi di mata warganet adalah pasangan yang hidupnya sempurna dalam arti memiliki kekayaan yang sangat banyak. Dalam salah satu wawancara dengan artis Jessica Iskandar, terungkap jumlah Asisten Rumah Tangga (ART) Nia Ramadhani terdapat 16 orang di satu rumah saja. 

Ini menunjukkan betapa Nia sangat dilayani untuk berbagai macam keperluan, sehingga ia tidak biasa mengerjakan urusan rumah tangganya sendiri. Masih ingat dalam benak kita, beberapa video unggahan Nia tentang betapa ia tidak paham dengan pekerjaan-pekerjaan sederhana dalam rumah, seperti mengupas kulit salak. 

Sebenarnya, video tersebut sengaja diungkah untuk menimbulkan kesan bahwa Nia adalah individu yang sangat kaya. Saking kayanya, sehingga ia selalu dilayani untuk hal-hal yang menurut masyarakat umum adalah hal biasa dalam rumah tangga.   

Video ketidakmampuan Nia mengupas salak sangat viral, dengan rata-rata jumlah viewer ratusan ribu. Jika ditarik dalam konteks yang lebih umum lagi, konten-konten yang disukai warganet adalah konten-konten yang bernuansa 'pamer' kekayaan. Cobalah cek konten-konten yang berjudul "crazy rich", maka kita akan temukan penonton komentar-komentar yang sangat banyak. Hal ini menunjukkan bahwa cara pandang dan selera warganet sangat materialis. 

Cara pandang dan selera meterialistik inilah yang membuat warganet terheran-heran dengan crazy rich yang mencari kesenangan melalui narkoba. Bagi warganet yang materialistik, materi duniawi seharusnya dapat mengatasi semua problematika kehidupan. Makanya, mereka terheran-heran. Sudah kaya kok masih narkoba? 

Hakikat kenikmatan dunia: sebuah tinjauan psikologi Islam 

Padahal, jika kita renungkan lebih dalam, justru potensi ketidakmampuan menikmati dunia ada pada kalangan crazy rich ini. Pendapat ini memiliki dalil syar’i dan aqli (logika). Dalam QS Al-Insyirah (94) ayat 5 dan 6, Allah SWT berfirman (artinya): "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." 

Dalam ayat tersebut Allah SWT menjanjikan kemudahan setelah kesulitan. Namun, ayat yang memiliki penegasan (taukid) ini juga dapat dibaca "Kenikmatan (kemudahan) hanya dapat dirasakan setelah manusia merasakan kesusahan (kesulitan)". Secara implisit, Allah SWT telah menciptakan sebuah hukum alam (sunatullah), bahwa syarat datangnya kenikmatan adalah setelah manusia merasakan kesengsaraan. Atau, manusia tidak akan merasakan kenikmatan jika ia tidak merasakan kesengsaraan sebelumnya.

Secara akal, memanglah demikian adanya. Manusia memerlukan kesengsaraan sebelum dapat menikmati kebahagiaan. Sebagai contoh, nikmatnya makan baru benar-benar disadari setelah manusia merasakan kesengsaraan lapar. Manusia baru merasakan nikmatnya bernafas lega setelah sembuh dari sesak nafas karena Covid-19. Padahal sebelum terkena Covid-19, ia mungkin tidak pernah menyadari bahwa bernafas itu adalah nikmat yang tidak putus-putus dari Allah SWT.  

Itulah sebabnya, Prof Quraish Shihab mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kesengsaraan di dunia ini. Apa yang kita kenal dengan kesengsaraan hakikatnya adalah pintu masuk kenikmatan. Kesengsaraan dunia hakikatnya adalah rahmat Allah yang disamarkan wujudnya.

Crazy rich yang terjerumus narkoba

Ada kemungkinan, para crazy rich lebih sulit merasakan kebahagiaan daripada orang lain. Pasalnya, potensi mereka merasakan kesengsaraan kecil sekali. Makan terjamin dan enak, kendaraan tersedia, sopir siap sedia, semua orang hormat karena mungkin ayahnya pejabat tinggi, dan kalau setiap hari mau foya-foya sangat mampu. Sebagai contoh, salah satu crazy rich Surabaya pernah mengaku kalau ia biasa menghabiskan uang Rp 2 juta untuk sekali makan setiap hari! Artinya, boleh jadi ia menghabiskan Rp 6 juta per hari hanya untuk makan. Padahal, jika seseorang tidak mengalami kesengsaraan dunia, maka ia pun tidak akan dapat menikmati dunia. Begitulah rumus kehidupan.

Ketika dunia sudah tidak dapat mengisi relung kenikmatan dalam jiwanya, maka para crazy rich akan berusaha mencari jenis kebahagiaan lain. Bagi crazy rich yang mendapatkan pendidikan moral atau agama yang cukup, tentu mereka akan mencarinya pada jalur tersebut. Oleh karenanya banyak juga crazy rich yang saleh dan tidak terjerumus pada narkoba. 

Namun, bagi mereka yang lalai, ditambah lagi pergaulannya yang tidak sehat, maka tentu akan sangat berpotensi untuk mencari pelarian berupa narkoba. Narkoba adalah obat-obatan yang mampu memberikan kebahagian non materi, yaitu ketenangan psikologis. Kebahagiaan melalui narkoba sangat instan. Begitu dikonsumsi, langsung nge-fly. Ini adalah jalan pintas (shortcut) bagi orang-orang yang sudah lama tak merasakan kebahagiaan psikologis, karena sudah "kenyang" dengan dunia. "Kenyang" sampai tidak lagi dapat menikmatinya.  

Narkoba dipilih karena sifat instannya. Efek narkoba yang instan tersebut sejiwa dengan kehidupan kebanyakan crazy rich yang terbiasa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan instan. Kenikmatan psikologis berupa cinta kasih dan penghormatan tidak lagi terasa nikmat, karena mereka dapatkan dengan cara yang instan, tidak melibatkan kesengsaraan hidup sebelumnya. 

Kalau mau jujur, golongan crazy rich hampir semuanya adalah keturunan orang yang sudah terlanjur kaya. Kekayaan yang mereka rasakan bukan diawali kesengsaraan bertungkus lumus membangun bisnis. Lebih banyak di antara mereka yang tinggal menikmati bisnis warisan orang tuanya. Dengan kekayaan yang seperti itu, kenyataannya mereka tidak perlu susah payah juga mendapatkan cinta. 

Banyak orang matre yang siap-siap jadi pelayan cinta mereka. Kalau keluar rumah, tiba-tiba saja mereka dihormati karena ayah mereka orang terhormat. Artinya semua serba instan dan tidak melalui episode kesengsaraan. Oleh karenanya, semua kenikmatan materi dan psikologis seakan tidak dirasakan oleh mereka.

Jadi crazy rich itu susah, syukuri hidup kita

Melihat tanggapan warganet atas kasus yang menimpa Nia dan Aldi, saya hendak menasehatkan kepada diri saya dan warganet. Jadi crazy rich itu hanya tampak indah dalam pandangan orang materialistik, namun hakikatnya mereka adalah orang-orang yang secara teoretik lebih sulit merasakan kebahagiaan. Maka syukurilah hidup kita yang masih dirundung banyak kesengsaraan di berbagai aspek. Karena Allah menjanjikan kebahagiaan setelah kesengsaraaan. 

Semakin banyak kesengsaraan, maka semakin banyak pula kebahagiaan yang disediakan Allah untuk kita. Syaratnya hanya satu, hilangkan dulu sifat materialitik kita! Karena jika tidak, maka kita akan bernasib sama dengan crazy rich yang tidak bahagia itu. Bedanya hanya satu juga, mereka benar-benar kaya, sedang kita yang masih materialistik hanya kaya dalam khayalan. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement