REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pro dan kontra mengenai kebijakan revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan semakin bergulir. Pihak pro revisi lantang menyerukan perubahan revisi PP 109 agar segera dijalankan untuk mengoptimalkan pengendalian tembakau. Sedangkan pihak kontra tegas menolak revisi karena dinilai memberikan dampak signifikan bagi keberlanjutan industri hasil tembakau (IHT) yang telah memberikan kontribusi besar bagi negara.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, keputusan merevisi aturan rokok dinilai sejumlah pihak kurang tepat. Dari satu sisi, perang melawan Covid-19 belum usai. Bahkan tidak main-main, untuk memutus penyebaran varian baru, baru-baru ini pemerintah melakukan langkah taktis dengan memberlakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat mulai 3-20 Juli 2021. Ekonomi Indonesia diprediksi melambat, dunia usaha menjadi tidak stabil dan kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak pada kalangan akar rumput.
Menanggapi situasi ini Anggota Komisi IV DPR Mindo Sianipar menyatakan kebijakan ini tidak berpihak kepada petani. “Betul arahnya merugikan petani tembakau,” tegas Mindo dalam keterangan tulis, Jumat (16/7).
Menurutnya masa pandemi telah memperburuk ekonomi Indonesia, maka itu percepatan penanganannya harus menjadi prioritas utama. “Revisi PP 109 tidak urgen saat ini,” ucapnya.
Sementara itu, Bambang Purwanto anggota komisi IV DPR fraksi Demokrat berpendapat revisi PP 109 akan berdampak pada penghasilan masyarakat, sehingga berpotensi menjadi masalah baru bagi pemerintah. Dia juga menyoroti monitoring dan sosialisasi peraturan yang ada, sehingga dampaknya lebih maksimal.
“Harus disikapi dengan hati-hati, cermat dan cerdas. Saat ini kan belum ada pada masyarakat, harus masif dan komprehensif, kalau program yang dijalankan setengah-setengah maka tidak berpengaruh itu. Harusnya sosialisasi dari tingkat puskesmas ke tingkat dinas, itu harus digalakkan,” ucapnya.