Selasa 20 Jul 2021 08:41 WIB

Perjalanan Richard Branson ke Luar Angkasa Tuai Kritik Keras

Para ilmuwan mengkritisi jejak karbon yang ditimbulkan dari wisata luar angkasa.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Dwi Murdaningsih
Miliarder Inggris Richard Branson berhasil terbang ke luar angkasa dengan Virgin Galactic.
Foto: new york magazine
Miliarder Inggris Richard Branson berhasil terbang ke luar angkasa dengan Virgin Galactic.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON—Setelah bertahun-tahun menunggu, perjalanan Richard Branson ke luar angkasa bulan ini dengan Virgin Galactic seharusnya menjadi kepulangan yang penuh kemenangan. Sebaliknya, perjalanan ini malah menuai kritik yang signifikan, yakni tentang jejak karbonnya.

Jeff Bezos juga dijadwalkan akan meluncurkan roket Blue Origin pada 20 Juli. SpaceX Elon Musk merencanakan misi orbital sipil pada September. Kini, industri pariwisata luar angkasa yang baru lahir menghadapi pertanyaan sulit tentang dampak lingkungannya. Saat ini, peluncuran roket secara keseluruhan tidak cukup sering terjadi mencemari secara signifikan.

Baca Juga

“Emisi karbon dioksida benar-benar dapat diabaikan dibandingkan dengan aktivitas manusia lainnya atau bahkan penerbangan komersial,” kata kepala penasihat iklim NASA Gavin Schmidt kepada AFP, dilansir dari Japan Today, Selasa  (20/7).

Beberapa ilmuwan khawatir tentang potensi bahaya jangka panjang karena industri ini siap untuk pertumbuhan besar, terutama dampak pada lapisan ozon di atmosfer atas yang masih kurang dipahami.

Virgin Galactic mengatakan emisi karbonnya hampir setara dengan tiket kelas bisnis dari London ke New York. “Perusahaan telah mengambil langkah-langkah mengimbangi emisi karbon dari penerbangan uji dan sedang memeriksa peluang untuk mengimbangi emisi karbon untuk penerbangan pelanggan masa depan, dan mengurangi jejak karbon rantai pasokan kami,” katanya dalam sebuah pernyataan kepada AFP.

Menurut analisis yang diterbitkan oleh astrofisikawan Prancis Roland Lehoucq dan rekan-rekannya di The Conversation, emisi Virgin mencapai sekitar 4,5 ton per penumpang dalam penerbangan enam penumpang. Itu kira-kira setara dengan mengendarai mobil biasa di sekitar Bumi dan lebih dari dua kali lipat anggaran karbon tahunan individu yang direkomendasikan untuk memenuhi tujuan kesepakatan iklim Paris.

SpaceShipTwo milik Virgin Galactic menggunakan sejenis karet sintetis sebagai bahan bakar dan membakarnya dalam nitrous oxide, gas rumah kaca yang kuat. Bahan bakar itu memompa karbon hitam ke stratosfer atas, setinggi 30-50 km. Sesampai di sana, partikel-partikel ini dapat memiliki banyak dampak, mulai dari memantulkan sinar matahari dan menyebabkan efek musim dingin nuklir, hingga mempercepat reaksi kimia yang menguras lapisan ozon. Lapisan ozon sangat penting untuk melindungi manusia dari radiasi berbahaya.

“Kita bisa berada di titik berbahaya,” kata Toohey, yang menginginkan penyelidikan lebih ilmiah mengenai efek ini sebelum peluncuran menjadi lebih sering. Virgin mengatakan ingin melakukan 400 penerbangan setahun.

Dibandingkan dengan pesawat luar angkasa SpaceShipTwo milik Virgin Galactic, menurut sebuah makalah baru-baru ini oleh ilmuwan Maryin Ross dari Aerospace, Blue Origin jauh lebih bersih. Itu karena Blue Origin membakar hidrogen cair dan oksigen cair, yang terbakar sebagai uap air.

Makalah Ross menemukan roket peluncuran vertikal Blue Origin yang dapat digunakan kembali menyebabkan hilangnya ozon 100 kali lebih sedikit dan 750 kali besaran pemaksaan iklim yang lebih kecil dari Virgin, menurut perhitungan kasarnya. Namun, itu tidak berarti benar-benar bersih.

“Dibutuhkan listrik untuk membuat oksigen cair dan hidrogen cair. Anda bisa kembali dan menghitung berapa banyak listrik yang digunakan untuk membuat propelan. Itu tergantung seberapa jauh Anda melihat ke belakang dalam rantai pasokan,” kata Ross kepada AFP.

Dampak peluncuran suborbital seperti yang dilakukan oleh Virgin dan Blue Origin tidak seberapa dibandingkan dengan dampak roket yang mencapai orbit. Ketika SpaceX menempatkan empat warga negara ke luar angkasa pada September, ia akan menggunakan Falcon 9-nya, yang menurut perhitungan menunjukkan setara dengan 395 emisi karbon senilai penerbangan transatlantik.

“Kita hidup di era perubahan iklim dan memulai aktivitas yang meningkatkan emisi sebagai bagian dari aktivitas yang meningkatkan emisi sebagai bagian dari aktivitas pariwisata bukanlah waktu yang tepat,” Annette Toiven, penulis buku Sustainable Space Tourism.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement