Rabu 21 Jul 2021 12:52 WIB

Merdeka Mengajar Ala Guru Zilenial

Sebanyak 59 persen guru akui inovasi kunci terpenting bagi transformasi pendidikan

Pegiat Pendidikan di Dompet Dhuafa Agung Pardini.
Foto: Dompet Dhuafa
Pegiat Pendidikan di Dompet Dhuafa Agung Pardini.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agung Pardini, Pegiat Pendidikan di Dompet Dhuafa

Dalam lima tahun terakhir, alam perguruan mulai dimasuki oleh guru-guru baru dari Generasi Zilenial. Mereka didefinisikan sebagai generasi mikro yang merupakan transisi antara penghujung Generasi Milenial (atau yang biasa disebut Generasi Y), dengan awal kemunculan Generasi Z di akhir dekade 90-an. Pada 2021 ini, usia termuda dari Generasi Zilenial adalah 22 tahun atau sama dengan masa akhir studi Strata 1.

Kaum Zilenial sering dipersepsikan sebagai pemuka pribumi asli digital yang tidak hanya adaptif menghadapi perkembangan dasawarsa ketiga dari abad ke-21, tetapi juga kerap diperkirakan sebagai generasi yang penuh kreativitas, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, percaya diri, serta selalu saling terkoneksi. Generasi ini bukan hanya telah menyatu dengan kemajuan teknologi, tetapi juga jauh lebih terbuka dengan nilai-nilai baru serta ajakan perubahan.

Hal apa yang paling terasa istimewa dari guru-guru generasi zilenial ini? Mereka memulai debut karier perdananya bersamaan dengan saat warga dunia tengah berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Dengan demikian, sebagian dari guru-guru muda ini resmi menjadi pendidik pemula tanpa mengalami proses bertatap muka dengan anak-anak didiknya.

Dengan karakteristik yang dipersepsikan di atas, banyak harapan yang disematkan pada momentum kedatangan guru-guru zilenial ini. Mereka harus mampu menghasilkan inovasi baru dalam bidang pendidikan yang belum pernah dipikirkan sebelumnya.

Selain pandemi ada tiga disrupsi besar lainnya, yakni, kemajuan Industri 4.0, perubahan iklim global, serta pergeseran geopolitik dunia. Semua hal tersebut akhirnya memaksa revisi mendalam atas peta jalannya pendidikan nasional. Di saat yang sama, hal itu juga menuntut dikembangkannya definisi ulang tentang cara belajar yang baru di semua sekolah.

Peserta didik yang tumbuh dan besar di era baru ini sudah selayaknya mendapat pendidikan yang sama sekali berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya. Bila dilihat dari kurikulum nasional, kerangka teori, dan filosofi yang menjadi landasan dasar fundamental dalam pendidikan kita sebenarnya masih cukup kuat untuk menghadapi tantangan perubahan tersebut.

Kurikulum kita juga tidak jauh berbeda dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia, UNESCO, dan lembaga-lembaga internasional lainnya. Perubahan pada empat dari delapan Standar Pendidikan yang menjadi acuan pengembangan Kurikulum 2013 juga memiliki tujuan salah satunya untuk membangun keseimbangan hardskill dan softskill yang sesuai dengan kecakapan abad ke-21.

Setelah pandemi ini berakhir, pembelajaran pun diharapkan bisa kembali normal seperti sedia kala. Akan tetapi, secara alamiah walau pandemi dapat berakhir sekalipun, iklim pendidikan di semua ranah hampir tidak mungkin bisa berbalik normal. Baik pendidikan formal, nonformal, dan juga informal sekalipun, ketiganya tengah bergerak mencari keseimbangan dan adaptasi yang baru. Hingga pada akhirnya semua pelaku pendidikan dan juga masyarakat umum akan terbiasa untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama pada saat sebelum krisis dulu.

Pendidikan pun terus dipaksa bertransformasi dalam rangka beradaptasi dengan kebutuhan dan situasi zaman. Momentum pandemi ini bisa dipakai untuk membuka sejumlah peluang baru yang dapat dimanfaatkan untuk mencipta gagasan purwarupa pendidikan setidaknya untuk satu dasawarsa ke depan.

Pada survei yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa melalui program Sekolah Guru Indonesia  kepada 400 responden guru di 80 kabupaten/kota dan 20 provinsi pada pertengahan April 2021 lalu, 59 persen guru mengakui bahwa inovasi menjadi kunci terpenting bagi transformasi pendidikan, baik di kala pandemi maupun juga bagi era setelahnya. Karena itu, para guru, khususnya Guru-guru Zilenial, harus diberi kesempatan belajar yang lebih besar agar bisa mengembangkan inovasi-inovasi baru. Tidak hanya pada pembelajaran, inovasi itu juga harus berkembang pada teritori pendidikan yang jauh lebih luas.

Kepemimpinan guru zilenial

Berbanding terbalik dengan konsep guru yang kita pahami hari ini, konsepsi guru di masa mendatang harus mampu menciptakan varian “korporasinya sendiri”. Sebab setiap orang di era digital adalah pemilik bisnis secara mandiri. Banyak guru pada era mendatang bukan untuk bekerja pada orang lain, melainkan berkolaborasi dengan banyak orang.

Hari ini, ribuan guru mampu bertahan pada profesinya karena mendapat jaminan status, baik sebagai ASN (PNS) ataupun sebagai GTY (Guru Tetap Yayasan). Pendapatan guru di masa depan tidak mesti ditentukan oleh statusnya, tetapi oleh kompetensi dan inovasi pada produk layanan ajarnya sendiri.

Sudah selayaknya sekolah yang mencari guru-guru terbaik, bukan guru yang mencari-cari pekerjaan di sekolah-sekolah favorit. Ini tak ubahnya seperti hubungan resmi antara profesi dokter spesialis dengan rumah sakit. Keduanya saling membutuhkan, saling bermitra, dan bukan sekolah mempekerjakan guru-guru dengan cara menekan semaunya.

Karena itulah, guru-guru zilenial harus belajar keluar dari konsep persekolahan dan konsep keguruan yang kita pahami sekarang ini. Dengan kemajuan teknologi, guru bisa memilih berstatus sebagai pendidik mandiri, tidak harus terikat dengan satu institusi sekolah. Inilah model bisnis yang bisa dikembangkan oleh guru-guru di masa depan, yakni “Merdeka Mengajar Ala Zilenial”.

Untuk memulai sebuah perubahan, menurut Oemar Hamalik (2009: 44), seorang guru harus memiliki berbagai keterampilan yang dibutuhkan sebagai pemimpin, seperti, bekerja dalam tim, keterampilan berkomunikasi, bertindak selaku penasihat dan orang tua bagi murid-muridnya, keterampilan melaksanakan rapat, diskusi, dan membuat keputusan yang tepat, cepat, rasional, dan praktis. Pengembangan kepemimpinan bagi profesi guru bukan hanya sekadar kemampuan untuk memengaruhi, tetapi juga kecakapan untuk mengelola banyak kerja sama. Intinya, kepemimpinan zilenial adalah seni untuk berbagi dan berkolaborasi. Inilah cara kerja kepemimpinan pada Industri 4.0.

Di tengah situasi ketidakpastian seperti sekarang ini, memulai inovasi baru memang belum pasti berujung pada keberhasilan. Jika hanya berdiam diri tanpa mau berinovasi, sudah dipastikan hasilnya akan gagal karena ditinggalkan zaman. Namun bukan zilenial namanya jika tak berani memimpin perubahan baru dengan inovasi. Selamat datang guru zilenial, sudah lama kami nantikan dikau!

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement