REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agung Pardini, Pegiat Pendidikan di Dompet Dhuafa
Dunia pendidikan kita tengah dibanjiri oleh para guru yang berasal dari generasi zilenial. Mereka adalah generasi pribumi digital alias digital native. Hal ini membuat kehadiran mereka disertai dengan karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh generasi-generasi sebelumnya.
Menggagas suatu inovasi pendidikan adalah tantangan yang menyenangkan bagi para guru zilenial. Namun di sisi lain, kendala-kendala yang akan mereka hadapi juga tidak ringan. Selain masih minim pengalaman dan belum sempurna pengetahuan, hampir semua angkatan zilenial belum tuntas menelusuri akar dari problem-problem besar yang menghambat kemajuan sistem pendidikan kita.
Guru zilenial vs kendala pendidikan
Kendala pertama yakni pada iklim birokrasi pendidikan kita. Isu utama yang ingin dimunculkan adalah menggeser pandangan umum tentang fungsi utama sekolah, dari pusat pengajaran ilmu pengetahuan menjadi pusat pembudayaan. Ki Hadjar Dewantara serta Fuad Hassan (mantan Mendikbud era Orde Baru) telah lebih dulu menggagasnya hal tersebut.
Guru zilenial memiliki peran strategis untuk mengampanyekan hakikat asli dari kerangka berpikir persekolahan ini, bahwa kelulusan di sekolah harus ditandai oleh peningkatan kapasitas diri dan kepribadian unggul yang otentik serta terukur. Partisipasi dari orang tua dalam kualitas pendidikan di sekolahmenjadi urgensi sehingga kematangan tumbuh kembang anak secara signifikan dapat tercapai dengan dukungan keluarga.
Jika merujuk pada hasil kajian ADB (Asian Development Bank) pada tahun 2002, kualitas pendidikan yang masih lemah di bidang belajar dan mengajar tersebut memang harus diperbaiki dengan mengubah peran manajemen sekolah. Sebagai pendidik muda, sedari awal para guru zilenial bukan hanya belajar tentang keilmuan pedagogik yang terbarukan, tetapi juga harus memahami secara utuh cara kerja sistem pendidikan nasional, berikut standar dan pengembangan tata kelola satuan pendidikannya.
Kendala kedua yakni lemahnya kualitas pembelajaran yang berujung pada rendahnya pencapaian kompetensi siswa pada laporan-laporan lembaga survei internasional dalam 20 tahun terakhir. Untuk memperkuat fondasi sistem persekolahan kita, perlu ada strategi baru guna memperbesar lingkup pembelajaran dari sebuah proses menjadi sebuah sistem terpadu. Sebagai sebuah proses, pembelajaran dibangun oleh beragam interaksi siswa dalam belajar dan mendapatkan pengajaran dari gurunya. Sementara sebagai sistem, pembelajaran mensyaratkan terpenuhinya entitas yang terbangun dari beragam unsur atau elemen, yakni sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Untuk memperbaiki sistem pembelajaran ini, guru zilenial harus mampu berinovasi dalam menghadirkan serangkaian interaksi belajar-mengajar yang terukur, teratur, dan terkoordinasi dari tiga unsur utama tadi. Filosofi pembelajaran sepanjang hayat yang kerap diserukan dalam kurikulum nasional kita hanya dapat terjadi jika semua elemen dalam ekosistem pembelajaran ini dapat saling berkolaborasi. Guru zilenial harus bisa meyakinkan bahwa ekosistem pembelajaran sejatinya merupakan wujud kesatuan sosial yang berakar dari budaya masyarakat Indonesia yang senang bergotong-royong dan terbiasa memikul tanggung jawab sosial secara bersama-sama.
Di level pemerintahan, dari era Mendikbud Anies Baswedan hingga Menristek Nadiem Makarim, ekosistem pendidikan yang seperti itu sejatinya telah terencana dengan bermacam label program. Ini menandakan bahwa keunggulan sekolah tidak sekadar ditentukan oleh prestasi akademik, tapi juga oleh iklim sekolah yang partisipatif dan dinamis. Sebagai sebuah ekosistem pendidikan, iklim sekolah tidak hanya sebatas pada interaksi belajar-mengajar antara guru dan murid. Sebagaimana yang dikupas dalam laporan UNESCO, iklim atau etos sekolah juga harus dibangun oleh keterhubungan antara seluruh warga sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemangku kepentingan yang terlibat dengan sekolah.
Membangun koneksi antara orang tua, masyarakat, dan guru sangat penting untuk pembelajaran dan keberhasilan setiap anak yang berkelanjutan. OECD dan ADB (2015: 105) mengusulkan agar posisi keluarga diperlakukan dengan bermartabat dan hormat, serta dipastikan agar semua praktik di sekolah adalah kelanjutan dari praktik keluarga, bukan malah merusaknya.
Keterhubungan antara semua elemen pendidikan tersebut tidak akan tercapai hanya dengan penerapan manajemen berbasis sekolah.Hal tersebut juga mesti ditopang oleh komitmen kuat untuk mengembangkan kurikulum otonom yang melibatkan partisipasi aktif dari semua elemen tadi.
Kendala ketiga adalah lemahnya kampus-kampus keguruan dalam menghasilkan gagasan baru dan besar di bidang pendidikan. Para guru zilenial masih banyak dipengaruhi oleh kurikulum keguruan yang juga didapat oleh generasi-generasi sebelumnya. Hal ini membuat guru zilenial sebagai guru generasi baru belum memiliki bekal yang baru untuk bisa menghadapi tantangan transformasi pendidikan di masa mendatang.